Bab 30

945 210 10
                                    

Setelah memastikan lantai tiga terbebas dari zombi. Mereka memilih kamar yang sudah ditetapkan oleh para tentara. Fiona dan Minsana memilih kamar dengan dua tempat tidur, sedangkan yang lainnya mengambil kamar yang tersisa.

Berjalan ke kamar dan memilih kasur untuk ditiduri dengan perasaan canggung, Fiona melirik Minsana yang segera menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Di mana suara isakan terdengar kemudian.

Beberapa kali Fiona ingin meraih bahunya yang gemetar. Pun, dia ingin memberi kalimat penenang, tetapi semua ditelannya kembali. Perempuan itu sadar kalau berbicara, memberi ketenangan, bukanlah kemampuan yang bisa dia banggakan.

Pandangannya beralih menerobos jendela, di mana asap tebal membumbung tinggi ditelan senja. Suara serak yang membahana menaikkan bulu kuduknya. Kelebatan memori saat berada di lautan mayat hidup kembali melintas di pikirannya. Seketika luka di kakinya berdenyut hebat, seakan baru beberapa detik yang lalu goresan itu didapatnya.

Tidak ingin ketakutan menguasai pikirannya, dia bergegas ke kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk. Dia ingat betul air masih mengalir dan mendinginkan kepala adalah sesuatu yang dia butuhkan saat ini.

"Mau ke mana?" Minsana tiba–tiba memanggil.

"Mandi. Aku butuh sesuatu yang bisa mendinginkan kepalaku," balasnya.

"Bersihkan sekalian luka di kaki dan bahumu dengan sabun. Setelah itu aku bantu untuk menutupnya. Aku masih punya sisa kasa steril di tas." Minsana mengusap sisa air mata yang masih menggenangi matanya.

"Ah, baik. Aku akan lakukan itu."

Berbekal peralatan mandi yang tersedia di dalam, Fiona segera membilas tubuhnya yang penuh darah dan kotoran. Baju yang sudah kotor pun sempat dicucinya dan dia keluar hanya dengan handuk melilit tubuh. Beruntung ukurannya cukup lebar, sehingga bisa menutup dada sampai ke lutut.

"Kemarilah." Minsana menepuk–nepuk kasur di sampingnya. Namun, Fiona bergeming.

Melihatnya mematung, Minsana mengembus napas panjang. "Aku juga perempuan. Buat apa kamu malu? Aku punya organ kewanitaan sama sepertimu. Dan bukannya aku sudah sering melihatmu telanjang?"

"Saat itu kita bertiga dan sekarang kita berdua. Lagi pula, ketika kamu membersihkan luka, aku masih mengenakan baju." Fiona menunduk, menghindari kontak dengan perempuan yang kedua matanya bengkak seperti habis tersengat lebah.

"Aku straight ...." Dia menjeda untuk melihat reaksi Fiona. "Kalau itu yang kamu takutkan."

Fiona menaikkan pandangannya dengan cepat dan seketika wajahnya berubah panik. "Bu-bukan itu maksudku. Aku ..."

"Oh, kalau gitu, kamu perlu ditemani Sersan Gama supaya aku bisa membersihkan lukamu."

"A-apa? Kenapa nama dia dibawa–bawa ke pembicaraan ini?" Wajah Fiona merah padam. Teringat dia salah satu dari pria di grup yang pernah melihat lekuk tubuhnya.

"Lalu apa? Aku bukan ingin menyanjungmu, tapi kami butuh kemampuanmu. Aku ingin kita sampai di bandara sesegera mungkin tanpa mengorbankan seseorang ...." Minsana berhenti bicara sejenak. Suaranya terdengar tercekat. "Seseorang seperti Yona."

"Maaf," ucap Fiona lirih saat melihat kedua mata perempuan di hadapannya kembali basah.

"Tidak masalah. Sekarang duduk." Dengan cepat, Minsana mengusap air mata yang menggenang.

Dalam diam dia membersihkan luka Fiona yang terbuka menggunakan obat merah dan menutupnya dengan kasa.

"Luka di punggungmu sudah hampir kering. Tapi, kakimu." Dia melirik ke kaki ramping yang terjulur. "Ah, luka itu akan meninggalkan bekas." Dia terdengar kecewa, seakan luka itu ada di kulitnya sendiri.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang