Bab 50

944 197 20
                                    

Fiona berjalan—setengah berlari—di bawah ancaman pistol, menelusuri gang-gang kecil yang menyesakkan. Beberapa kali mereka menemui satu dua zombi yang segera dihabisi Karo tanpa ragu, terlebih rasa takut tergigit.

Perempuan itu mengerti alasan pistol tidak digunakan, tetapi melihatnya bertarung dengan jarak selekat ini, memaksa otaknya berpikir. Kenapa pria itu begitu berani? Apa anti virus yang ada di darahnya membuatnya kebal? Atau dia hanya gila sampai berani menyerang dengan jarak tidak sampai satu inci dari mulut zombi?

Entahlah.

Fiona berdiri dengan emosi yang mulai meluruh di belakang, menyaksikan Karo menghancurkan kepala dua mayat hidup dalam satu benturan semudah menepukkan tangan. Matanya sama sekali tidak berkedip melihat kebrutalan yang sudah menjadi konsumsinya beberapa hari belakangan.

Sesekali dia akan menoleh ke belakang. Memastikan seseorang tidak ada yang mengikuti. Berharap mereka mendengar permintaannya dan bergegas ke terminal C tanpa dirinya.

Kali ini tidak ada terselip niat untuk kabur. Walau awalnya dia benci dengan ide penyekapan ini, tetapi rasa ingin tahu dan dendam teman-temannya terus menggerayangi.

Siapa pria itu?

Ada hubungan apa antara dirinya dengan dia? Kenapa dia terus mengejarnya sampai pada tahap membunuh sesamanya. Manusia yang masih hidup dan berpikir normal.

Foi?

Fiona sudah mengulik setiap relung otaknya. Namun, tidak juga menemukan kata itu di kotak memorinya yang berlubang. Dia butuh jawaban untuk menambalnya. Berharap ingatannya akan kembali utuh.

Kembali berjalan beriringan penuh waspada, langkah mereka terhenti saat melihat seseorang di mulut gang. Fiona tidak mengenalinya, karena hanya terlihat siluet kasar yang dibentuk sinar matahari senja. Yang pasti orang itu bukan Gama.

"Foi." Suara Karo bergetar parau. Sepertinya cekikan yang diberikan Fiona merusak pita suaranya.

"Kamu lama." Pria itu bergerak menghadap cahaya. Dan samar Fiona bisa melihat profil wajahnya dengan jelas.

Wajah lonjong, tulang hidung yang tinggi, mata melengkung sayu, dan bibir tipis dengan kerut di sudut, membuatnya terlihat seperti pria ramah yang loyal dengan keluarga. Hanya saja lebam yang mulai samar di wajah, bercak darah di sekujur tubuh, hingga luka sayat di leher, mengatakan hal sebaliknya.

Karo tidak menjawab kalimat yang dilontarkan dengan ketus. Hanya kakinya yang menghentak keras, pertanda dia kesal.

Mereka berdua kemudian menggiring Fiona ke sebuah bangunan satu lantai yang tampak tak terurus. Kenop pintu berkarat, kaca tertutup lapisan debu tebal, sampai butiran kayu sisa rayap terlihat menggunung di sudut pintu.

Masuk ke ruangan yang sepertinya berfungsi sebagai kantor dengan deret kursi dan meja, serta tumpukan berkas, Foi mendorong tubuh Fiona ke salah satu kursi kayu. Suara decit kaki kursi menggesek ubin, diikuti erang nyeri Fiona memecah kesunyian janggal di area ini.

Pria itu menggeret bangku lainnya dan duduk saling berhadapan. Matanya nyalang menelusuri tiap lekuk wajah Fiona. Sesekali ia akan menyipit dan rahangnya menggeretak keras, seakan Fiona baru saja melakukan sesuatu yang membuat marah di otaknya.

Sementara, Karo berjongkok dengan tak acuh di depan pintu.

"Siapa kamu? Dan apa yang kamu inginkan dariku!" Suara Fiona terucap lantang tanpa ada sedikit pun getar ketakutan.

"Siapa aku?" Foi menjeda kalimatnya. "seharusnya kamu bertanya itu pada dirimu sendiri. Berani-beraninya kamu menggunakan nama kembaranku yang sudah kamu bunuh sebagai identitas!" Dia menggebrak meja kayu di sebelahnya.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang