Bab 5

1.4K 243 34
                                    

Bagian dalam aula gedung terlihat gelap. Temaramnya memperpendek jarak pandang dan memaksa indra pendengaran bekerja maksimal walau secercah sinar putih senter hadir untuk membantu.

Setelah menutup pintu aula dan menguncinya, mereka menyebar dengan Fiona terus menempel pada Gama.

Tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai keadaan di dalam, selain darah memulas sebagian besar marmer dan memercik ganas di dinding. Mayat bergelimpangan dan saling menumpuk di pojok kanan dengan kepala tak lagi utuh. Ada yang putus, setengah batok kepala hilang dan mempertontonkan otak yang membubur, sampai luka tembak sederhana yang menembus kepala.

Fiona yang melihat pemandangan menjijikkan itu hanya bisa meringis dan menahan rasa mual yang sudah mencapai kerongkongan. Sementara ketiga lainnya tetap memasang ekspresi serius dan tidak terpengaruh dengan pembantaian yang terjadi di depan mereka.

Bak kuburan, di dalam tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali detik jam dinding serta detak jantung dan deru napas masing-masing. Aroma yang terhirup pun tidak jauh berbeda dengan kamar mayat, di mana aroma busuk dan besi mengisi udara sekitar.

Berjalan maju, sesekali suara gemeresik terdengar acak dari berbagai sudut mengacaukan konsentrasi dan meningkatkan denyut jantung mereka. Sinar senter terus berayun dari satu sisi ke sisi lainnya, tetapi tidak ada sumber suara yang tertangkap.

"Guys, aku menemukan sakelar." Himo yang berjalan menyusuri dinding, akhirnya menemukan tombol yang mendatangkan sinar dari belasan lampu yang menempel di langit-langit.

Kelopak mata Fiona berkedip saat sinar putih menyerang. Sensasi buta sementara dirasakan selama beberapa detik sebelum matanya disambut oleh pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan di luar hanya saja minus zombi.

Terlepas dari kacaunya kondisi di dalam saat ini, Fiona masih menyempatkan diri untuk mengagumi aula yang sebelum kejadian pasti terlihat menakjubkan. Seperti langit-langit tinggi, foto bersejarah dan peta besar kota Arkala terbentang di dinding, serta tanamam hias yang menghijaukan ruangan bernuansa putih ini. 

"Troy, Himo berpencar! Cari persenjataan yang masih tersisa," perintah Gama. "Fiona, kamu tunggu di sini."

Menunggu bukanlah pekerjaan disukai oleh perempuan berambut sebahu itu. Alih-alih diam di tempat, dia berjalan ke arah meja pendaftaran dengan pisau bersiap di depan dada.

Sampai di meja besar dengan kaca pelindung yang berlubang di beberapa bagian. Seorang petugas berseragam biru muda tergeletak tak bernyawa. Kulit biru keunguan dan luka tembak di kepala, menghamburkan sebagian otaknya di lembaran kertas yang tercecer di atas meja.

Dia tidak lagi memekik kaget, bagaimanapun juga kondisinya jauh lebih normal daripada tumpukan mayat di pojok sana. Dia memutar dan masuk ke balik meja untuk mencari sesuatu yang kiranya bisa digunakan untuk bertahan diri selain pisau kecil ini.

Matanya menyisir tubuh mayat dan melihat senter dan pistol menggantung di sabuk. Namun, berkas di meja dengan tulisan wanted yang mencolok, membelokkan niat utamanya.

Mendekat ke meja, dia menjulurkan kepala untuk membaca tulisan teratas.

Diinginkan hidup atau mati! Pelaku pembunuhan berantai yang sudah membunuh enam korban pria. Pelaku terakhir terlihat di kota Arkala.

"Sedang apa kamu?" Suara Gama menginterupsinya membaca.

"Ti-tidak apa-apa. Hanya membaca ini." Fiona yang terperanjat, menunjuk kertas yang ada di meja.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang