Bab 43

872 165 7
                                    

"Aku butuh dia hidup-hidup!" ucap Minsana yang terdengar seperti perintah bagi para tentara.

Sebenarnya tidak ada yang sulit dengan mengabulkan permintaan sang dokter. Hanya saja mengingat pria itu sudah berkali-kali menargetkan mereka sampai pada tahap menyusahkan dan melukai salah satu dari para tentara, maka mengampuni nyawanya jelas bukan pilihan.

Dibunuh atau membunuh. Hanya dua opsi ini yang tersisa di dunia tanpa hukum seperti sekarang.

"Kamu yakin tidak salah mengenali?" tanya Gama memastikan.

"Ingatanku tidak seburuk itu, Sersan. Kamu sedang bicara dengan seseorang yang memiliki ingatan fotografis yang nyaris sempurna," balasnya sedikit sombong.

"Kalau begitu, apa tidak ada cara lain, Nona?" tanya Troy sambil merunduk dan menggiring para perempuan kembali ke dalam ketika letusan senjata terdengar. Sementara Gama balas menembak dan memberi perlindungan bagi yang lainnya.

"Himo, terus maju! Jangan beri kesempatan mereka mendekat!" perintah Gama setelah memastikan semuanya masuk.

"Nona, katakan ada cara lain." Troy mengulang perkataannya. "karena kami tidak mungkin melepaskannya sekarang. Terlebih dia sudah membunuh dengan sadis belasan polisi yang belum berubah di mabes!"

"Aku tidak peduli apa yang sudah dia lakukan. Yang penting aku butuh darahnya ketika dia masih hidup! Jantungnya masih berdetak dan paru-parunya masih mengembang!" tuntut Minsana. Sama seperti yang sudah-sudah, dia kembali menjadi dirinya yang lama ketika ada hal lain yang menarik perhatiannya.

Gama dan Troy kemudian saling berpandangan.

"Yang penting darah diambil ketika dia masih hidup, bukan? Setelah kamu mendapatkan semua itu, kami boleh membunuhnya?" tanya Troy dengan seringai mengerikan di wajah.

Minsana tersentak melihat perubahan ekspresi Troy. "A-apa pun itu. Silakan." Sang dokter mundur satu langkah hingga membentur Fiona yang segera memeganginya sebelum terjatuh.

"Troy, hentikan itu!" tegur Gama karena sudah menakuti sang dokter.

"Bagaimana dengan tempatnya? Bukannya darah akan menggumpal di udara terbuka?" tanya Fiona penasaran.

"Tidak perlu khawatirkan itu, karena aku membawa tabung khusus untuk itu di tas."

"Kamu membawa benda seperti itu? Untuk apa?" Fiona mengernyit.

"Persiapan. Aku tadinya mau mengambil sampel darah salah satu zombi untuk aku periksa di lab—jika aku selamat. Tapi untung aku terus menunda niat itu," jelasnya sambil mendudukkan pantatnya ke kursi.

"Kalau begitu kita tidak bisa menembak mereka dari sini," gumam Gama sambil menggosok dagunya.

"Kamu masih bisa menembak pria yang membawa senapan," saran Himo yang wajahnya mulai basah penuh keringat.

"Tapi kemungkinan besar pemadam itu akan pergi ketika kita membunuh kawannya. Segila apa pun dia, aku rasa dia pasti sadar kalau satu melawan tiga adalah ide buruk," jawab Gama.

"Hm, betul juga. Jadi kita hanya bisa menghindar dan menyerang mereka di darat," balas Himo dengan napas mulai tidak beraturan. Walau dia menyembunyikan kelelahannya dengan baik, tetapi tetap saja mata Troy tidak bisa dikelabuhi.

"Him, duduk. Biar aku yang mengambil alih kemudi." Pria tanpa rambut itu menepuk bahunya dan menunjuk ke arah bangku menggunakan dagu.

Sadar dengan kondisinya yang tidak kuat berdiri lama, Himo kemudian duduk sambil mengembus napas panjang dan menarik perhatian mereka bertiga.

Namun, tak lama Gama membubarkan fokus mereka semua. "Sepertinya apa yang Himo katakan ada benarnya." Dia kemudian mengalihkan pandangannya dan berseru kepada sang nakhoda dadakan, "Troy, jaga jarak dengan mereka. Jika sudah mau sampai, segera beri tahu supaya kita semua bisa bersiap lebih awal."

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang