Bab 33

911 187 6
                                    

"Kalian siapkan semua perlengkapan. Kita tinggalkan tempat ini sekarang!" perintah Gama.

Alih-alih bergerak melakukan yang diperintahkan, mereka semua justru mematri kaki mereka dan menatap penuh tanya.

"Sersan Gama, beri kami sedikit informasi. Kenapa kita harus keluar dari sini sekarang juga?" tanya Prof Gorgo penasaran.

"Gama, ada apa? Info apa yang kamu dapat dari komandan?" tanya Himo dengan pandangan menyelidik.

Gama bungkam sejenak dan mengedarkan pandangannya ke semua orang yang kini berdiri mengitarinya.

Perdebatan keras terjadi di otaknya, sebagian darinya memilih untuk menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Semua demi mencegah kecemasan massal yang mungkin timbul. Namun, menyembunyikan kematian yang mengancam mereka jelas bukan solusi.

"Gama?" Kali ini suara Fiona membuyarkan pikirannya.

Mata mereka sempat bertautan beberapa saat. Walau tidak ada tuntutan dalam kalimatnya, tetapi binar matanya mengatakan semua.

Gama menutup kedua matanya. Embusan panjang dan lelah dikeluarkan, sebelum akhirnya dia mengatakan informasi sebenarnya. "Kota akan diledakan tiga hari dari sekarang." Suaranya terdengar menyesal, seakan semua perintah pengeboman ini berasal dari dirinya.

"A-apa! Ba-bagaimana ... bukannya ... pemerintah seharusnya ...." Minsana terlihat kacau. "Sersan, katakan kalau ini cuma akal-akalanmu saja supaya kita mau keluar dari sini tanpa persiapan." Minsana kembali berubah tajam dan mendekati Gama. Mencengkeram bajunya, mengancam untuk memberi jawaban jujur.

Tidak ingin melawan kepanikan perempuan, Gama hanya menggeleng dan membalas singkat, "Maaf."

"Jadi, pemerintah mau membunuh penyintas yang mungkin masih ada di kota ini!" Minsana memekik semakin kencang.

"Infeksi sudah tidak terkendali. Bahkan bandara sebagian sudah dikuasai oleh para zombi," ucap Gama tetap dengan ketenangan yang sama. Suaranya bahkan masih terdengar jernih tanpa riak kecemasan sedikit pun.

Sementara itu di belakang mereka, Himo dan Troy hanya bisa bertukar pandangan dengan rahang menggemeretak tegang. Sedangkan, Fiona hanya bisa mematung dengan mata terbuka lebar.

"Ana, hentikan." Tangan keriput Prof Gorgo memegang lembut bahu Minsana. Walau kepanikan menguasai pikirannya, tetapi dia masih mencoba untuk menenangkan anak didiknya. "Keputusan bukan di tangannya. Lagi pula Sersan Gama pasti punya jalan keluar untuk menyelamatkan kita, bukan?"

"Aku tidak akan mentelantarkan kalian. Kita akan sampai di bandara tepat waktu." Janji Gama kepada mereka semua.

"Lalu, ke mana kita pergi kalau bandara sudah dikuasai mereka?" Fiona mulai terdengar frustasi.

"Komandan mengatakan sesuatu tentang itu?" timpal Troy.

"Terminal A dikuasai oleh mereka. Komandan meminta kita ke terminal C, akan ada pesawat yang menunggu di sana."

"Bagaimana caranya kita ke terminal C tanpa melalui terminal A? Memangnya ada jalan?" Minsana mengerutkan keningnya.

"Melalui terminal D, di sana ada jalan belakang yang akan tembus ke Jalan Riye," jawab Gama.

"Jalan Riye? Bukannya jalan itu tidak masuk ke area bandara?"

"Tidak semua orang tahu jalan itu, Nona Minsana. Karena jalan itu hanya boleh digunakan oleh presiden dan orang penting lainnya," imbuh Himo.

"Tunggu, berarti kita harus memutar?" Prof Gorgo terdengar semakin lelah.

Ketiga tentara saling bertukar pandang.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang