Bab 39

972 200 4
                                    

Fiona seakan lupa bagaimana caranya bernapas. Bagaimana melenturkan bibir dan lidah supaya bisa melontarkan kata. Sampai cara mengatur ekspresi di saat pemandangan berubah tak bersahabat dengan mata.

Dia seharusnya sudah kenyang melihat kebrutalan yang mengerikan. Bukankah dia sudah pernah melihat kepala menggelinding mengejarnya, potongan tubuh yang menggeliat beberapa menit setelah terpisah dari tubuh, dan kolam darah dalam artian sebenarnya?

Lalu, kenapa sekarang dia justru berdiri mematung dengan lidah kelu dan raut ketakutan tergambar jelas di wajah, saat melihat kondisi Prof Gorgo?

Kulit pucat nyaris tanpa rona kemerahan. Tangan kiri buntung setinggi siku terbungkus kasa berdarah, pembuluh darah berdilatasi biru keunguan berkelok sampai ke leher, dan matanya menyala merah, seakan darah bisa menitik keluar.

Dia sebenarnya tidak terlihat seperti salah satu dari mereka yang setengah mati, tetapi dia juga tidak terlihat seperti masih bernyawa. Walau dadanya bergerak naik turun dan kelopak mata mengerlip cepat, tetapi tubuh yang nyaris tanpa warna dasar benar-benar menakutkannya. Seakan dia baru saja menatap manekin buntung yang sengaja dicoret-coret untuk menambah rona.

"Fiona." Suara serak Prof Gorgo menyadarkannya. "Senang ... melihatmu sudah sadar."

Perempuan berambut pendek itu bungkam sesaat sambil mengatur gerak napasnya. Kegundahannya harus lenyap terlebih dahulu supaya dia bisa membalas sapaan sang profesor tanpa suara bergetar.

"Profesor, bagaimana perasaanmu?" Fiona berjalan mendekat ke pembaringannya dan memaksa senyumnya merekah.

"Tidak ... baik. Tapi aku senang ... melihatmu baik-baik saja," ucapnya tersengal-sengal.

"Saya akan selalu baik-baik saja. Beristirahatlah, Profesor. Dan jangan pedulikan yang lainnya. Kesehatanmu adalah yang utama sekarang," balasnya manis.

"Aku tidak baik-baik saja. Aku ... cuma membatasi gerak ... kalian semua. Orang tua ini ... walau berharap tetap hidup, tapi keinginan itu ... nyatanya cuma impian ... semata." Dia menggerakkan telapak tangannya ke depan mata dan tersenyum getir. "Lihat, aku bahkan ... sudah tidak bisa membedakan warna lagi. Semua berubah hitam putih ... di mataku."

"Profesor akan tetap hidup. Bukankah sudah kubilang kalau saya akan menjagamu? Dan bukankah Gama juga sudah janji membawa Profesor ke tempat aman?" Fiona berusaha menguatkan sang pria tua, walau dia tahu kemungkinan dia bertahan kecil.

"Dan jangan lupakan. Kalau kamu ... juga sudah ... berjanji untuk membunuhku ... sebelum aku berubah." Dia mengingatkan janji yang Fiona ingin hapus dari memorinya.

Sementara itu, Minsana yang dari tadi duduk sambil mengusap wajah berkeringat Prof Gorgo, kini berhenti dan menarik tangannya ke dada. Beberapa kali matanya melirik ke arah Fiona dengan mata sembab dan merah.

Fiona bungkam. Matanya balas melirik ke arah Minsana yang kini meraih tangannya dan menggenggamnya kuat.

Minsana. Dia membalas genggamannya lebih kencang. Ingin memberi kekuatan yang berharap sampai kepadanya.

"Saya tidak akan melupakan janjiku, Prof." Dia menatap kosong sang profesor yang membalasnya dengan senyum. "Sekarang istirahat. Oh, iya, saya mau pinjam Minsana sebentar, boleh? Ada luka yang harus dibersihkan."

Sang profesor menoleh ke anak didiknya. "Kembalilah cepat. Aku tidak mau ... meninggal sendirian."

Minsana menggigit bibirnya kuat sebelum menjawab, "Baik, Prof."

Berjalan keluar dengan jari-jari tangan saling bertautan. "Tahan sebentar!" pinta Fiona setengah berbisik.

"Kamar. Ruangan terbuka yang aman. Apa pun itu, aku butuh sebentar," ucapnya cepat kepada Gama yang tengah mengisi amunisi.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang