Bab 32

922 195 6
                                    

Saat ini mentari sudah menanjak dari ufuk timur. Sedikit terlambat untuk sarapan, tetapi mereka tetap berkumpul untuk memasukkan sedikit makanan yang ada ke lambung.

Duduk melingkar di lorong depan kamar, suara gedoran di bawah yang terus terdengar sepanjang malam kini mulai meredup. Sepertinya teriknya mentari memukul mundur sebagian dari mereka.

"Mulai hari ini, aku minta kalian tidak ada yang naik ke atap!" Gama membuka pertemuan dengan kalimat perintah yang lantang diucapkan.

"Eh, kenapa?" tanya Minsana heran.

"Semalam, seseorang menembaki aku dan Fiona dari gedung seberang. Walau orang itu kemudian tak terlihat lagi, tapi bukan berarti dia sudah tidak ada lagi di sana," terang Gama.

"Apa! Seseorang berusaha membunuhmu? Kamu terluka?" Panik Minsana. "kenapa tidak bilang, Fiona! Aku bisa memeriksamu tadi."

"Tunggu, aku pikir hanya kamu yang ada di atas, Gam." Troy memincingkan matanya. Namun, pertanyaan yang terdengar sinis itu tidak dihiraukannya.

"Aku baik. Sepertinya orang yang kemarin tidak ahli menembak. Kalau iya, aku pasti sudah tidak ada di sini," balas Fiona.

"Bagaimana kalau dia sebenarnya hanya memberi sinyal kepada kita? Sinyal kalau dia butuh bantuan." Prof Gorgo menekuk wajahnya. Sama sekali tidak percaya kalau hidupnya masih saja dibayangi kematian di tempat yang seharusnya aman.

"Bisa jadi, Prof. Tapi aku rasa melepas tembakan ke langit dan memberi kode menggunakan api unggun lebih masuk akal jika memang tujuan awalnya untuk meminta tolong." Himo mengeluarkan pendapatnya.

"Hmm, betul juga."

"Apa pun itu tujuannya. Untuk sementara kalian tidak diperbolehkan untuk naik ke atas. Aku tidak mau jumlah orang di grup ini semakin menyusut," perintah sang pimpinan yang dijawab dengan anggukan.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan? Kalian tidak mungkin berpikir untuk menetap di sini sampai bantuan datang, bukan?" tanya Prof Gorgo setelah menelan sisa makanan kalengnya.

"Hari ini aku akan mencoba menghubungi komandan lagi. Semoga ada titik terang ke mana kita harus pergi setelah ini," terang Gama.

"Kalau masih belum berhasil?" tanya Fiona pesimis.

Pandangan Gama terpatri ke arah Fiona kemudian beralih ke Prof Gorgo, dan Minsana. Tangan-tangan bergesekan satu sama lain, pantat naik turun dengan gelisah seakan banyak kerikil tajam di lantai, dan embusan napas panjang, cukup memberi info kepada dia betapa resahnya mereka.

Belum lagi tatap penuh harap yang dipancarkan. Semua menambah beban, supaya dia bisa menepati janji yang terucap. Mengantar mereka semua dengan selamat ke bandara.

"Aku akan cari cara. Aku pasti akan menemukannya. Sementara itu tunggu di sini. Himo atau Troy akan bergantian berjaga di selasar. Kalau butuh sesuatu, minta tolong kepada mereka."

Selesai menyampaikan pendapatnya, Gama bergegas ke atas dan meninggalkan mereka semua yang berharap banyak.

Fiona bangkit dan melangkah lambat menuju jendela besar yang berada di ujung lorong. Matanya menyisir gang sempit di bawah dan melihat belasan zombi berjajar sampai di ujung jalan.

Dia kemudian mengeluarkan senjata dan mengintip peluru yang tersisa di magasin. Dengkusan panjang dikeluarkan. Dia sudah merasa putus asa saat melihat peluru yang tersisa. Sejitu apa pun dia menembak, tetap hanya lima zombi yang bisa dibunuhnya dari jarak aman.

"Apa yang kamu pikirkan?" Suara Minsana tiba-tiba menyeruak lamunannya.

"Tidak ada." Dia kembali menyimpan senjata di sela celana.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang