Bab 42

833 181 19
                                    

Kita tidak akan pernah tahu kapan jam kehidupan masing-masing orang berhenti berdetik. Semua itu rahasia di mana hanya Tuhan, sang pemilik nyawa, yang tahu. Dan menyisakan para manusia bermain dengan teka-teki kehidupan.

Dunia yang bertambah tua dan manusia yang kian rakus, tidak juga menjadi halangan seseorang mendambakan hidup panjang. Walau begitu, tidak sedikit juga orang yang berharap hidupnya berjalan lebih singkat dari yang sudah ditakdirkan.

Seperti Prof Gorgo yang mati-matian mempertahankan hidup, hingga rela merasakan nyeri hebat saat tangannya dipotong. Yona yang berkeinginan tetap hidup walau dibayangi rasa bersalah. Hingga Syam yang rela berkhianat demi menyelamatkan pantatnya sendiri.

Seharusnya Minsana menyerap sebagian kecil dari semangat sejawatnya untuk hidup, tetapi nyatanya kini dia terduduk pasrah di dalam speed boat. Meski tidak terdengar isak tangis, tetapi mata yang terus tergenang air menunjukkan betapa terpuruknya dia dengan kematian sang guru.

Fiona yang sudah gagal memenuhi janjinya kepada Minsana, memilih diam. Jika, sebelumnya masih ada satu dua patah kalimat penghibur yang bisa diberikan, sekarang dia tidak punya satu pun huruf. Seakan persediaan kata di otaknya kosong.

Beberapa kali matanya basah, tetapi gigitan di bibir mencegahnya mengalir turun. Dia tidak ingin menambah kesedihan Minsana dengan tangisannya.

Setelah hampir sepuluh menit menenangkannya dengan pelukan, Fiona keluar menuju geladak kapal. Dia memutar tubuh dan memandang kagum speed boat dengan satu bangunan tertutup berisi ruang kemudi dan enam kursi menyamping yang kini digunakan Minsana dan Himo beristirahat.

Sepertinya dia tidak ingat pernah naik kendaraan sejenis ini dan dia suka dengan sensasinya. Merasakan ombak menggoyang lembut tubuh, deru angin melayangkan rambut, dan percikan air laut menyegarkan wajahnya.

"Lihat apa?" Suara Gama menyeruak lamunannya.

Fiona tersentak dan menjawab kaku, "Kapalnya ... bagus."

"Aku ingin berkata terima kasih, tapi baru ingat kalau ini bahkan bukan milikku." Gama tersenyum simpul.

"Dan hal itu mengingatkanku kalau aku di sini bukan untuk bersenang-senang," balasnya sambil memaksakan senyumnya mengembang.

Mereka kemudian terdiam. Gama dengan mata teduh menatap wajah Fiona yang perlahan bersemu merah. Entah terik matahari yang menghadirkan warna itu di wajahnya ataukah keberadaan sang pria yang menghangatkannya.

"Aku senang melihatmu baik-baik saja." Tidak lagi menjaga jarak, Gama mendekat dan menepuk-nepuk ringan kepalanya.

"Kamu senang?" Fiona menurunkan pandangannya. Nada suaranya berubah sendu, rasa bersalah kembali menggelayuti hati nuraninya.

"Fiona, ada apa?" tanya Gama hati-hati saat mendengar perubahan intonasi suaranya.

"Bukankah aku baru saja membunuh seseorang dengan mudahnya di saat kamu sendiri ragu? Manusia yang masih bernapas dan mendetakkan jantungnya. Kamu seharusnya takut denganku. Kamu seharusnya menjauhiku!" ucapnya dengan nada tinggi.

"Bu-bukan itu maksudku ...." Pria besar itu kehilangan kalimatnya dan terpaku saat melihat Fiona berlalu dari depan matanya. Bingung dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Maksudku ...." Gama mengejarnya ke sisi lain kapal dan meraih tangannya. "apa yang kamu lakukan hari ini hebat. Kamu sudah menepati janjimu. Kamu sudah membebaskan Profesor dari rasa sakit dan mencegahnya berubah menjadi makhluk yang tidak dia inginkan."

"Semua itu tidak mengubah apa-apa. Aku tetap seorang pembunuh, Gama!" teriaknya sambil berusaha menarik tangannya lepas, tetapi kekuatan genggaman sang tentara jelas bukan tandingannya.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang