Bab 37

864 188 17
                                    

Minsana benar-benar tidak menyangka akan datang hari seperti ini. Hari di mana fisiknya dipaksa melayani ancaman yang sewaktu-waktu bisa membunuhnya.

Kalau pada hari biasa, dia akan terkungkung di balik dinginnya dinding laboratorium. Duduk hingga punggung kaku di kursi tinggi. Mata sibuk mengintip di balik lensa okuler mikroskop, jari-jari menekan lembut pipet berisi aneka organisme, dan otak tidak berhenti memikirkan hubungan replikasi DNA dengan sintesis protein.

Sekarang, alih-alih duduk bak patung the thinker, dia harus mempersiapkan diri berlari kencang untuk menghindari sambaran tangan zombi. Adrenalin bahkan sudah mengalir deras di pembuluh darah hanya dengan melihat para mayat hidup berkeliaran. Memaksa jantung dan paru bekerja ekstra untuk mempersiapkan fisik beraksi maksimal.

"Tetap di sini sampai kami memberi aba-aba. Baru setelah itu kalian keluar. Bersiaplah!" perintah Gama sebelum para tentara berlalu melalui pintu depan.

Di luar, suara tembakan tidak lagi dikumandangkan. Mereka memutuskan untuk menjatuhkan rombongan zombi menggunakan tangan kosong dan senjata lainnya. Semua dilakukan untuk menghindari mayat hidup lain mendekat dan tentunya, menghemat peluru.

Sementara Gama menghunjamkan pisaunya tanpa ampun ke kepala beberapa zombi. Troy mengayunkan tongkat penuh paku dengan kencang ke pria yang berjalan terseok-seok ke arahnya. Dalam satu gerakan, tubuhnya terlempar ke badan bus dan kepala membentur kencang jendela.

Minsana memekik saat mendengar retakan tulang tengkorak dan melihat gumpalan otak berwarna abu-abu bercampur darah merah keunguan meluncur lambat. Sementara itu, Prof Gorgo memilih mempertahankan martabatnya sebagai seorang pria dengan memalingkan wajah, walau perutnya bergejolak hebat.

"Jangan dilihat. Perhatikan saja bagaimana kerasnya usaha mereka bertiga untuk membuka jalan untuk kita," ucap Fiona. Walau nada suaranya terdengar tenang, tetapi tidak dengan kerut di pangkal hidung dan tatap tajam matanya.

"Aku tahu, tapi tetap saja aku tidak tahan melihat bagaimana sadisnya para tentara membunuh mereka," balasnya sambil meringis saat melihat Himo menghantam tengkuk salah satu zombi menggunakan alat pemadam api ringan yang dia temukan di dalam bus.

"Mereka sudah mati, Minsana. Dan mereka membunuh yang masih hidup lebih sadis."

"Aku tahu, aku tahu." Minsana mendesah. "aku heran bagaimana kamu bisa tahan melihat semua darah dan tubuh-tubuh menjijikan itu?"

"Sepertinya aku ... sudah terbiasa," balas Fiona terdengar aneh di akhir kalimat.

"Lihat! Mereka sudah memberi tanda." Prof Gorgo membubarkan percakapan mereka dan menunjuk ke depan.

Kedua perempuan itu mengalihkan pandangan dan melihat Gama mengayunkan tangan berulang kali.

Fiona maju beberapa langkah ke pintu depan. Matanya menyisir sekitar dan melihat hanya ada ketiga pria itu yang berdiri tegap di lautan tubuh yang mulai membusuk.

Himo kembali memberi tanda. Tanpa ada keraguan, Fiona segera membuka pintu dan melangkah keluar. Merasakan angin darat berembus membelai rambut dan membekukan ujung hidungnya.

"Apa semua aman, Fiona?" teriak Minsana dari dalam.

Tidak menjawab menggunakan kata, perempuan itu hanya memberi jempolnya ke atas.

Tak lama, sang dokter ikut keluar dari bus. Telapak kakinya sempat mendarat ragu di atas aspal, matanya bahkan bergulir cepat ke kiri dan kanan. Sama sekali tidak percaya dengan sinyal yang diberikan.

"Ke mana kita sekarang?" tanya Minsana tanpa menunggu Prof Gorgo turun. Dia hanya ingin cepat keluar dari situasi ini.

"Tunggu dulu, Nona. Tidakkah kita melupakan satu orang lagi?" ucap Troy sambil menunjuk ke arah pria tua yang masih menggantung salah satu kakinya di tangga bus.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang