Bab 53

1K 209 49
                                    

Suara dentam pintu tertutup menggaung kencang, diikuti benturan demi benturan yang tidak ada habisnya. Mereka berdua berhasil masuk, tanpa terluka, ke dalam ruangan kosong berbentuk lingkaran dengan lift menempel di seberang pintu.

Tubuh Fiona merosot ke lantai, merasakan kejang otot pada kedua betis. Dadanya naik turun dengan cepat, jari-jari tangannya mulai kebas, dan kepalanya terasa melayang tinggi ke atas awan. Walau begitu, dia tidak melupakan potongan tubuh Karo yang masih dicengkeramnya kuat tepat di siku.

Dari seberang, Troy memandangnya penuh waspada seakan-akan perempuan itu mampu membunuhnya jika dia lalai.

"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Gama dengan suara bergetar yang dipaksakan tenang. "Apa susahnya duduk dan menunggu di sini sampai aku kembali?"

"Membantumu tentunya. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kita butuh dia untuk keluar dari sini?" Fiona mengulang apa yang Gama ucapkan terakhir kalinya sebelum menyelamatkan Karo.

"Bukan itu, kamu bisa saja terbunuh di sana!" Gama mulai menjawab penuh emosi. "Lagi pula, kita butuh dia utuh, bukan sebagian kecil dari tubuhnya."

"Sama saja. Mau utuh atau sebagian. Bukannya Minsana hanya perlu darahnya sebelum dia mati atau berubah," balas Fiona yang mulai teriritasi dengan argumentasi Gama.

"Tapi bukan itu begitu caranya, Fiona!" Untuk pertama kalinya Gama menaikkan suaranya kepada Fiona.

"Lalu bagaimana caranya, Sersan? Dia sudah digigit. Jika tangan yang belum terinfeksi tidak segera diputus, maka kita tidak akan mendapat apa-apa!" balas Fiona dengan suara yang sama tingginya.

"Ada cara la—"

"Aku tidak peduli cara lainnya. Apa pun akan aku lakukan, aku cuma mau keluar dari sini!" Dengan terengah-engah, jeritan Fiona memutus perkataan Gama.

"Itu tugasku untuk berpikir!"

"Hei hei, kalian berdua. Tenanglah." Troy menepuk bahu Gama yang bergetar marah.

Lift tiba-tiba terbuka dan Minsana menyeruak keluar bersama tas ransel yang bergoyang heboh di tangannya.

"Kamu mendapatkannya!" teriaknya penuh antusias. Sama sekali tidak menghiraukan atmosfer pertengkaran yang mengisi ruangan.

Duduk berjongkok di samping Fiona, Minsana buru-buru mengenakan sarung tangan lateks dan mengeluarkan tabung-tabung kecil beserta jarum suntik dari tas. 

"Syukurlah kamu bisa memotong tangannya tepat waktu." Minsana meneliti potongan tangan itu dengan teliti. "Kamu memotongnya di waktu yang tepat, Fiona. Jari-jemari dan telapak tangannya masih merona merah."

"Itu semua pertanda bagus?" Troy mendekat ke tempat kedua perempuan itu duduk.

"Tentu saja!" balas Minsana senang. "Sersan Troy, aku butuh sesuatu untuk mengikat kuat tangannya. Cepat!"

"Untuk apa mengikatnya? Dia tidak mungkin meloncat dan menggunakan jari-jarinya untuk lari, bukan?" jawabnya malas sambil melepas ikat pinggangnya.

"Tidak lucu, Sersan," balas Minsana ketus.

"Ini." Troy menyerahkan ikat pinggangnya ke Minsana yang kemudian digunakan untuk mengikat kencang di area atas lipatan siku.

Sementara Minsana sibuk mengumpulkan darah Karo. Gama—yang berdiri di belakang Minsana—tidak berhenti memandang Fiona. Masih belum ada kelembutan yang terpancar, hanya tilik tajam sedingin es.

Perempuan itu sadar Gama memberinya tatapan yang sama sekali tidak menyenangkan. Karena itu, Fiona yang tidak lagi memiliki kepentingan, beranjak ke arah lift.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang