Epilog

1.4K 187 80
                                    

Setelah selamat dari neraka dunia, mereka semua dibawa ke sebuah kota kecil yang berada di selatan Arkala.

Waktu berlalu lambat di sini. Tidak banyak yang bisa dilihat di Hamasyi. Gedung-gedung yang menjulang tinggi menutup kemiskinan yang merajalela di sudut-sudut kota. Kebisingan di jam kerja dan keheningan yang kontras di kala malam tiba, memberi nuansa kota pinggiran dengan nyata.

Fiona berpikir setelah semua kejadian mencekam di Arkala, dia akan mendapat kebebasan. Walau dia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan di sisa umurnya, tetapi paling tidak dia bisa melenggang tanpa rasa takut. Namun, nyatanya semua itu sebatas mimpi tak berujung.

Walau dia tinggal di fasilitas milik pemerintah dengan makanan berlimpah, tetapi kegiatan monoton menumpuk kebosanannya. Terlebih dia tidak pernah mendapat izin untuk keluar. Selalu ada tentara berpakaian hijau botol yang mencegahnya untuk pergi, sementara penghuni lainnya bebas lalu lalang di depan matanya.

Setiap pagi dia sudah harus berada di klinik untuk diperiksa kondisi kesehatan oleh Minsana. Walau sudah lima hari berlalu, tetapi sang dokter tetap memaksanya untuk periksa dengan dalih takut ada virus yang berkembang, mengingat banyaknya luka yang dia dapat selama di sana.

Siang harinya, dia akan menghabiskan waktu bersama buku demi menghindari kerumunan orang yang tidak berhenti mengajaknya bersosialisasi. Terakhir, malam harinya, Gama akan datang berkunjung membawa berbagai macam hadiah kecil yang dia harap bisa menyenangkannya.

Setelah berhasil kembali dengan selamat, Gama mendapat kenaikkan pangkat dan beberapa penghargaan lainnya. Begitu juga dengan Troy. Hanya saja keadaan sang istri yang kritis memaksanya untuk mengambil cuti.

"Kamu diam hari ini. Ada yang mengganggumu?" tanya Gama.

Duduk berdampingan di salah satu kursi taman di kala bulan masih menggantung rendah di langit, terlihat romantis. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang menggoyang rerumputan dan membawa serta aroma manis aneka bunga. Semua itu seharusnya menenangkan Fiona, tetapi kenyataannya tidak.

Hatinya panas. Siang ini dia akhirnya meledak ke salah satu petugas yang berjaga di pintu gerbang setelah melihat Minsana dengan mudahnya keluar. Yang dia butuhkan cuma kartu untuk membuka pagar besi yang memisahkan dunia yang tenangnya tidak masuk akal dan kericuhan yang dibuat-buat.

"Seseorang mengurungku di sini. Dan aku tidak suka itu," balas Fiona. Tidak ada satu pun kerutan yang terlihat. Pancaran matanya pun kosong tanpa emosi.

"Maaf, Nona. Selama kamu tidak punya kartu akses, aku tidak bisa membantumu keluar." Fiona memutar ulang ucapan pria kekar bertampang galak yang mengawasi pintu sepanjang siang.

"Apa yang kamu inginkan? Aku akan bawakan untukmu." Gama tidak merespons jawaban Fiona dan mengajukan pertanyaan lainnya.

Perempuan yang kini mengurai rambutnya menoleh luwes, "Kebebasanku. Kamu bisa beri aku itu?"

Gama tertegun sejenak. "Mau ke mana?" Dia membelai rambut Fiona yang hitamnya berkilau tertimpa cahaya kuning lembut dari lampu taman.

"Ke mana saja selain di sini." Fiona masih mempertahankan ketenangan di suaranya, tetapi munculnya kerut di antara mata membuktikan sebaliknya.

"Di mana aku bisa mendapatkannya?" Percakapan antara Fiona dan tentara yang berjaga lanjut dimainkan di pikirannya.

"Nona Fiona, tidak akan mendapatkannya di mana-mana. Selama pimpinan masih menuliskan nama Nona di setiap laporan pagi, Nona tidak akan bisa melewati pintu itu. Tinggallah dengan tenang di sini. Banyak yang bermimpi hidup di tempat seperti ini," tegas sang petugas kala itu.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang