Bab 46

788 180 15
                                    

Kembali ke tempat mereka berkumpul, Troy menangkap tali yang dilempar Gama tanpa banyak tanya. Dilingkarkannya tambang sepanjang tiga meter itu ke bahu, sebelum dia memosisikan tubuhnya melintang di antara dua peti kemas.

Apa yang akan dia lakukan berikutnya membuat kedua perempuan itu pesimis. Bagaimana mungkin badan sebesar itu mampu melawan gravitasi hanya dengan tangan dan kaki menempel di dinding peti kemas tanpa pijakan. Namun, mereka salah.

Dalam satu lompatan, kedua kaki dan tangannya menempel di kedua sisi peti kemas yang saling berseberangan. Bermanuver bak jungkat-jungkit, Troy memanfaatkan otot tebal keempat ekstremitasnya untuk naik dengan cepat. Seakan tangan dan kakinya berubah menjadi sayap untuk membantunya terbang.

"Nona Minsana, kamu naik setelah Troy melempar tali dari atas. Selama menunggu, tolong jaga Himo. Dan Fiona, tahan mereka yang ada di belakang. Naik setelah Nona Minsana sampai di atas," instruksi Gama dengan singkat dan jelas.

Tanpa menunggu pertanyaan yang pasti terlontar dari mulut Minsana, dia segera bergegas ke ujung gang yang sudah penuh dengan antrian zombi lapar yang berebut masuk. Meninggalkan sang dokter dengan mulut terbuka dan kalimat tertahan di lidah.

Fiona yang paham dengan tugas diberikan, berlari berlawanan arah dengan Gama. Dalam keberanian yang dipaksakan, dia berdiri dengan kedua kaki menjejak mantap dan lengan terulur ke depan. Pistol yang bertengger di tangan, digenggamnya kuat dengan telunjuk bersiap menarik pelatuk.

Di belakangnya, suara letusan senjata mulai meledak bertalu-talu. Gama sepertinya tidak lagi pusing dengan jumlah peluru yang terbatas. Dan seharusnya Fiona juga begitu. Namun, dia tetap menahan peluru di magasin saat melihat kepala zombi menyembul dari sudut kontainer di kejauhan.

Seorang pria gemuk berseragam biru tua berlumur darah muncul. Kepala teleng dengan luka konyak memanjang dari leher ke bahu kiri terlihat horor. Begitu juga dengan suara rintihan lirih yang menggoyah nyali. Tidak menunggu lama, kawan-kawannya muncul satu per satu dengan kondisi yang sama mengerikan.

Fiona menghela napas dalam dan mengembuskannya teramat lambat ketika tujuh zombi memenuhi lapang pandangnya. Jantungnya jelas berdetak semakin cepat. Anehnya, kali ini bukan ketakutan yang menguasai pikiran, tetapi adrenalin yang membakar semangat dan mendongkrak keberaniannya.

Jadi, apa yang meresahkannya tadi?

"Fiona, kenapa diam? Tembak mereka!" teriak Minsana panik.

Fiona membisu. Dia sama sekali tidak menggubris ketakutan Minsana. Pikirannya terus berspekulasi mengenai waktu yang tepat untuk menyerang secara efektif.

"Fiona!" jerit Minsana yang akhirnya menggerakan sang pemilik nama.

Berlari ke arah kumpulan zombi, Fiona mengalirkan segenap tenaganya ke kaki kanan dan menyepak keras kepala zombi ke atas. Tubuh gempalnya terhuyung ke depan. Dalam satu gerakan seirama, lutut Fiona menghantam rahang dan lengannya menyikut kencang kepala.

Suara krek yang terdengar dari leher dan kepala memuaskan Fiona. Begitu juga dengan isi otak keabuan yang lembek lengket menyembur dari sela retakan, melegakan rasa frustasi yang sebelumnya timbul.

Zombi itu jatuh tanpa daya dan dua yang berada persis di belakangnya bergantian menyerang Fiona.

Jari tangan mereka mencakar kosong udara. Perempuan itu melompat mundur, tetapi terlambat karena tajamnya kuku berhasil mencabik pakaian. Tidak ada kulit yang terluka, hanya baju robek yang memperlihatkan sebagian dari payudara. Dan hal itu membuatnya geram.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang