2. Untuk Cinta yang dibunuh nafsu

10.1K 134 7
                                    

Kuncoro bangun dari tidurnya yang lelap. Suara percikan air memenuhi ruangan itu. Membuat tenang dirinya yang sedang kasmaran untuk yang kedua kalinya. Ia bangun lalu berjalan menuju ruang depan, Istri mudanya sedang merenung di teras sambil memandangi bukit. Mengenakan kebaya putih dan kain lurik coklat dengan rambut yang diikat kebelakang. "Sayang... Kau bangun pagi sekali."

"Eh, iya Mas." Kata Ratni kaget. "Mungkin suasana baru, saya masih belum terbiasa.

"Padahal di sini tenang sekali. Rumah ini khusus aku buatkan untuk kita. Nanti sesekali kita beristirahat di sini saat akhir pekan. Apa kau senang di sini?"

"Senang Mas, suasananya sejuk, dan juga sangat tenang."

"Tapi sepertinya kau gusar." Kata Kuncoro sambil memeluk Ratni.

"Saya rindu Wulandari mas." Kata Ratni mencari-cari alasan.

"Ah... tenanglah. Pembantu dirumahku pasti merawatnya dengan baik. Karena sekarang ia anakku juga."

"Iya mas terima kasih." Kata Ratni.

"Ah apa kau lapar?"

"Tidak terlalu Mas."

"RUUUSS!" Panggil Kuncoro.

"Iya pak." Kata bibi Sulasih yang cepat-cepat menuju teras.

"Buatkan kopi dan teh untuk kami."

"Sudah Pak, sebentar lagi saya antarkan, pisang dan ketela masih saya goreng. Mohon bersabar sebentar pak."

"Ya sudah Cepat. Aku tidak mau membiarkan istriku kelaparan!" Sahut Kuncoro dengan nada angkuhnya.

Ratni hanya tersenyum sungkan dan mengangguk, ia merasa lebih baik ada di posisi bibi Sulasih. "Sudah Mas, aku tidak begitu lapar. Maaf aku tidak menyiapkan kopi pagi ini. Tadi bu Sulasih melarangku."

"Halah... Untuk apa? Derajatmu sudah naik sekarang. Kau tidak sama lagi dengan mereka."

"Terima kasih Mas, saya hanya mencoba untuk menjadi istri yang baik untuk Mas. Seperti yang dilakukan Kakak Puspita."

Kuncoro hanya menggelengkan kepala. "Sayang istriku itu hidupnya tidak lama lagi. Dokter sudah menyerah akan penyakitnya. Uang sudah habis banyak. Tapi untung saja, ia menggunakan uangnya sendiri tidak menjamah hartaku, ada untungnya juga ia yang mengatur semua warisan dan keuangan."

"Mas..."

"Iya." Kata Kuncoro santai. Sambil menghidupkan rokok kreteknya.

"Mengapa setelah bertahun-tahun menikah dengan kakak Puspita hanya beranak satu?"

"Ah... Puspita..." Kuncoro menghirup rokoknya. "Dulu itu ia cantik, Keturunan Kompeni. Ibu Pribumi, dan Bapak Belanda, Jerome Van Beckhoff. Sayangnya Ayah Puspita meninggal karena malaria, dan juga sudah lanjut usia. Saat melahirkan Bagas ia kritis, karena tekanan darah rendah, dan sejak itu ia tidak mau hamil lagi. Maka dari itu Anak kami hanya Bagas seorang."

"Apa Kakak Puspita tidak melakukan kewajibannya sebagai istri?"

"Menurutku iya, seharusnya harta kekayaannya seluruhnya milikku, ia bersikeras tidak mau memberikannya dan lebih mempercayakan Bagas anakku untuk mengelolanya. Tapi tidak jadi masalah, aku masih mendapat setengah bagiannya."

"Saya mendengar rumor, Mas sering melelang ronggeng ya? Apa karena itu?"

Kuncoro terkekeh. "Wah pertanyaanmu, sepertinya cemburu."

"Maaf Mas..." Ratni tertunduk, tidak setitikpun ada rasa itu dihatinya.

"Menikah itu salah satu tujuannya adalah berhubungan badan. Seperti kita tadi malam. Puspita sudah tidak bisa melakukannya karena ia sakit. Jadi ya saya terpaksa bermain di luar. Lagipula mereka semua terbeli." Kata Kuncoro seolah manusia ada harganya.

Bu Sulasih membawakan Kopi, Teh beserta pisang goreng. Kuncoro menyeruput kopi hitamnya yang masih panas itu. "Kamu sendiri, sudah 10 tahun dengan mendiang Suwito, kenapa hanya punya anak satu?"

"Setelah melahirkan Wulandari, Saya pernah keguguran 2 kali Mas. Karena terlalu keras bekerja, yang pertama karena kami pernah gagal panen. Yang kedua karena terlalu letih bekerja di tambak, waktu itu almarhum ayah baru saja membuat kolam gurami."

Kuncoro memegang tangan Ratni. "Tenanglah, hidup bersama saya kamu tidak akan bekerja keras seperti dulu. Kamu akan bersolek dengan cantik. Saya akan suruh para pembantu untuk lulur tubuh putihmu biar kamu menjadi seperti remaja lagi. Kalau perlu kau bisa mandi susu. Tapi... Tidak harus seperti itu tubuhmu sudah sangat menggoda. Beruntung sekali Suwito memperawanimu."

Ratni hanya tersenyum mendengar kelakar suaminya. Ia pun jadi merasa bersalah karena ia juga mengkhianati warga Desa. Warga desa yang biasa diperas dan diperlakukan semena-mena, dililit bunga hutang yang tak masuk akal. Mungkin sekarang Ratni sedang menjadi buah bibir di seluruh Desa.

Tidak habis pikir dengan perasaan hati yang sangat sedih. Ratni memulai kehidupan barunya yang lebih dekat pada kesakitan daripada kesenangan. Ia hanya berharap keluarga dan anaknya hidupnya terjamin.

"Sepertinya kita harus mandi agar segar. Di pancoran belakang itu khusus aku siapkan untuk kita berdua bisa mandi bersama, Ayo temani aku."

"Iya Mas." Kuncoro menggaet tangan Ratni untuk mandi bersama. Sebuah ajakan yang tidak bisa Ratni tolak karena sangat takut.

***

Sebenarnya rumah kayu kecil itu Indah, dibangun dengan sangat baik dan biyaya yang cukup mahal. Sayangnya Ratni tidak bisa menikmati keindahannya. Satu-per satu bajunya dilepas, sama seperti Kuncoro. Mereka berdua sudah telanjang lalu membasahi diri masing-masing. Tinggi Kuncoro hanya beberapa senti dari Ratni, sehingga dengan mudah ia meraih leher putih mulus itu, menyesap aroma tubuh muda dan menjilati leher jenjang itu. Kedua tangan nakal pria cabul itu sudah menggerayangi gunung kembar putih berujung coklat tua milik Ratni. Satu genggaman masih tersisa karena bulat dan besarnya milik Ratni. Semakin bernafsulah Kuncoro, burung pipitnya langsung mengeras.

Ratni begitu pasrah, ia sangat terpaksa. Rambutnya basah dan tubuhnya menggigil. Ia sama sekali tidak bernafsu. Namun, sentuhan pria itu membuatnya geli. Ratni hanya menahan dan tidak mau tubuhnya larut dalam nafsu, karena ia tidak menginginkannya. Tapi apa daya, ia sudah jadi seorang istri.

"Wah... besar dan ranum sekali milikmu... Jika kemarin malam kau belum puas, kita punya waktu satu hari untuk bersenang-senang."

"Iya Mas, silakan... " Kata Ratni sambil menyembunyikan isakannya. Ia pun merasakan kejantanan suaminya yang sudah mengeras. Meskipun tidak sekeras milik mantan suaminya. Ia sangat yakin bahwa batang itu tidak bisa memuaskannya. Ratni yang pasrah hanya membiarkan tubuhnya digerayangi. Terlebih tangan pria cabul ini sudah memasuki daerah terlarang ditengah selangkangannya, jari-jarinya sudah menjalar diantara hutan lebat wanita itu.

Dibawah sinar Mentari pagi yang cerah itu Kuncoro menikmati tubuh putih Ratni. Pasrah saat lidah lelaki mesum itu menjalar di leher, dada, lalu putting yang dihisap kuat. Pasrah saat bibir indahnya dilumat. Ratni sama sekali tidak rela, akhirnya ia berinisiatif. Ratni melepas pelukan Kuncoro lalu berlutut. ia mencoba mengeluarkan lahar putih Kuncoro dengan mulutnya. Berbekal pengalaman memainkan kejantanan mendiang Suwito dengan mulut. Hanya butuh 2 menit tubuh Kuncoro bergetar, Ratni mencabut mulutnya dan akhirnya santan kental Kuncoro menetes dari kejantanannya. Ratni Berdiri lalu menopang Suaminya karena kakinya lemas.

Ratni senang karenapria ini selemah itu, ia tak perlu berlelah-lelah mengotori dirinya.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang