Setelah mandi, Bagas menuju dapur. Diambilnya karung goni yang berisi daun-daun herbal yang didapatkan dari hutan. Sekalipun obat buatannya tidak terlalu menolong Ibunya, daun-daun itu sangat membantu meredam rasa sakit yang diderita Puspita. Daun-daun dan beberapa akar itu ditumbuk, dicampur madu lalu diseduh.
Cangkir panas itu dibawa Bagas ke kamar ibunya melewati lorong panjang dengan tegel hitam serta pilar-pilar putih yang kokoh. Jendela-jendela bergaya Victorian dan cat rumah putih kusam berada sepanjang Bagas berjalan. Kemudian pintu jati yang berwarna putih itu diketuk, dengan pelan kamar Ibu dimasukinya.
Kedatangan pria itu disambut senyuman. Senyuman lemah wanita paruh baya yang bernama Puspita yang Sebagian rambutnya memutih. Wajahnya pucat, matanya sayu, sisa-sisa kecantikan masih terpancar dari wajahnya. Kanker sudah menggerogoti tubuhnya yang kurus. Rumah ini adalah sejarah indah baginya, Rumah mendiang ayah yang dipercayakan pada Puspita anak kesayangan Van Beckhoff. Dengan harapan yang sederhana, ia ingin selama mungkin menikmati suasana rumah yang ia cintai itu.
Aroma Jamu menyeruak ke dalam indra penciuman, wangi pekat nan pahit. Dengan pelan ditiup agar panas berkurang, kemudian diseruput. "Hmm... sudah semakin tak terasa. Harusnya ini pahit sekali meskipun diberi madu." Kata Puspita lemah.
"Sudahlah Bu, yang penting membantu mengurangi rasa sakit." Kata Bagas sambil merapikan tempat tidur Ibunya .
"Maaf ya Nak, harusnya kamu bisa berbakti pada negeri ini, Seperti pamanmu, tapi kamu malah menjaga ibu terus-terusan."
"Tidak apa-apa Bu. Sudah tugas anak untuk berbakti pada orang tuanya."
"Sewaktu pernikahan ayahmu berlangsung. Apa kau sudah mengambil dokumen-dokumen itu di kota Nak?"
"Sudah Ibu. Sudah saya ambil." Bagas mengambil dokumen-dokumen dari tas kulitnya yang ia taruh di lemari kayu kamar Ibunya.
"Masih sama peraturannya, Ayahmu hanya mendapat 10% dari semua harta kekayaan ini. Tapi kau harus berbohong padanya, selalu katakan padanya bahwa itu 70%. Lalu 90% hasilnya adalah untukmu, jika nanti kau sudah berkuasa, bangunlah waduk untuk kesejahteraan penduduk Desa. Ibu bangga, dari cerita-cerita para pegawai yang menjenguk. Mereka selalu berkata dirimu adalah pribadi yang bertanggung jawab. Entah dari apa hatimu terbuat... Tapi Ibu sangat amat bangga." Ibu meneteskan air matanya. Ingin rasanya ia melihat anaknya paling tidak sampai menikah, tapi rasa itu sepertinya tidak bisa ia dapatkan. Puspita meraih pulpen dan dokumen-dokumen itu. "Dimana Ibu harus tanda tangan."
Bagas menunjuk bagian-bagian yang harus ditandatangani, seraya membalikkan map satu-persatu. "Bu, kenapa harus sekarang?" Kata Bagas, air matanya sudah mengalir sangat deras. "Ibu belum mau pergi kan? Ini bisa dilakukan lain waktu. kami masih membutuhkanmu."
"Kita tak tau kapan waktunya. Jujur di kehidupan ini Ibu cukup menyesal Ayah sebagai pendamping hidup. Ia pintar mempengaruhi kakek. Akal busuknya hanya pada kekayaan Ibu. Tapi untunglah kau jauh lebih mirip Ibu dan mendiang Pamanmu Tinggi dan Perkasa. Hanya saja, kulitmu yang sama dengan Ayah. Ibu sangat bangga padamu. Pesan ibu..."
Puspita terbatuk. "Kau tidak harus menyiksa dirimu untuk menjadi orang baik. Terkadang, kau juga perlu untuk berbuat tegas, tapi jangan lakukan itu pada mereka yang lemah. Lakukan itu pada mereka, para penindas. Ingat pesan Ibu, Jadilah kuat untuk lawan mereka yang jahat. Jadilah baik untuk mereka yang lemah. Biar hanya sebentar kau tetap seorang Tentara kan? Carilah pasangan hidup. Kau terlalu lama sendiri nak."
"Baik Bu... Saya mengerti."
"Mana Wulandari? Anak itu baik dan lucu sekali."
"Ia sedang bersama Ibunya."
"Oh, Sudah pulang dari bulan madu rupanya. Mudah-mudahan mereka bahagia. Ibu hanya kasihan pada Ratni. Sangat terlihat jika ia sangat terpaksa."
"Saya masih tidak terima mengapa ibu mengizinkannya menikah lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)
RomanceStory selesai ditayangkan di : https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri Harga Full Story Rp.21.900 #3 drama (20-Jul-22) Tragedi selalu menyisakan dendam. Karma selalu memainkan perannya di sela-sela waktu yang indah. Ia datang, ia per...