47. Di Bawah pohon Flamboyan

1.7K 108 17
                                    


Bagas mengangguk dan menggendong Winata dengan hati-hati. Kemudian membawanya pada Ibunya di ruang bawah. Beberapa pembantu mengikutinya, untuk memastikan keamanan sang Bayi, karena mereka takut pada pak Kuncoro yang sedang mengadakan pesta di Desa bersama teman-temannya karena kelahiran Winata.

Saat Puspita melihat Winata, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Bagas memberikan Bayinya untuk digendong Ibu. Dengan sigap Puspita menimang anak itu seperti halnya ia mengingat Bagas dulu. Anak itu bukannya takut atau menangis, justru malah tersenyum memperlihatkan gusinya yang rata. Puspita larut dalam haru.

"Sekalipun ini adalah sebuah kesalahan. Tapi anak ini tetap lahir dari rasa cinta. Sekalipun itu adalah hubungan terlarang." Puspita memandang Bayi mungil itu. Puspita harus sedikit mengerem perkataannya karena di sana ada Mumun dan Minten "Tapi biar bagaimanapun ia adalah cucuku. Lengkap sudah keinginanku di dunia ini. Lengkap sudah semua, terima kasih nak. Hari-hari kedepan akan semakin tidak pasti. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Jadi lakukanlah apa yang seharusnya kalian lakukan. Rawat anak ini dengan baik, jadikan ia seperti dirimu, jadikan ia anak yang baik, tidak peduli darimana ia berasal. Restuku menyertai anak ini."

Bagas menanggapinya dengan mengangguk.

"Terima kasih nak. Maafkan kesalahan ibu, waktu ibu tidak lama lagi. Tetaplah kuat."

***

Detik berdetak tak kenal lelah, waktu-waktu berlalu penuh kebahagiaan dari Kuncoro yang sudah mempunyai sebuah keluarga kecil. Ratni yang sudah bisa berjalan pelan sambil menggendong dan menyusui Winata. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Hanya saja kondisi Puspita yang sudah nyaris di ujung dunia fana. Satu minggu lamanya ia sudah dilarikan ke rumah sakit, dan tubuhnya sudah semakin lemah.

Semalam-malaman Bagas menunggu, ia juga rindu pada anaknya di rumah. Akhirnya setelah sepuluh hari Ibu sadar dan ia meminta Wulan agar datang ke rumah sakit. Karena jaraknya hanya 30 menit dari rumah sakit. Bagas menjemput Wulan di sekolahnya. Ia menaiki mobilnya dan pada saat jam pelajaran mereka menuju rumah sakit.

Seolah keajaiban pun terjadi. Ibu merasa sehat, Wulan dan Bagas akhirnya menunggui ibu di Rumah sakit selama tiga hari. Mereka berbincang seperti biasa dan setiap malam Bagas hanya mengucurkan air matanya.

Senja yang sendu. Dimana matahari memancarkan sinar lembayung indah di langit. Udara hangat namun sejuk menerpa Bagas dan Wulan di beranda rumah sakit. Kemudian perawat menyuruh mereka masuk untuk menengok Ibu yang sudah dimandikan. Bagas dan Wulan masuk ke dalam ruangan itu.

"Aku senang melihat kalian berdua besisian. Sepertinya memang si cantik jelita Wulandari dikirimkan untuk anakku menemani sepanjang kehidupannya. Kemarilah kalian berdua."

Bagas dan Wulan mematuhi perintah ibu. Mereka duduk di pinggir kasur Puspita kemudian tangan Ibu mengamit tangan mereka agar saling menggenggam satu dengan yang lainnya. Kemudian tangan ringkih Ibu memegang tangan mereka berdua. "Aku berkata kepada kalian, tetaplah kuat dan mendukung satu sama lain sampai harinya tiba. Adapun sebuah kesalahan yang dilakukan maafkanlah kiranya itu. Semoga kalian bahagia." Ibu mulai menitikkan air mata seraya memandang Wulan. "Mungkin hidupmu tidak sempurna, tapi disetiap ketidaksempurnaan itu selalu ada jalan kebaikan untuk bahagia. Bagas keluarlah aku ingin berbicara empat mata dengan Wulan, ketahuilah nak. Ibu sangat mencintaimu."

"Aku juga sangat mencintaimu Bu."

Bagas menitikkan air mata lalu memeluk Ibunya dan mencium keningnya. Pergilah Bagas menuju bangku itu menikmati sore. Ia duduk sambil menghela nafasnya. Jantungnya berjalan pelan, namun. Detak-detaknya seolah menyerap semua energinya. Bagas mengadah ke atas. Menit demi menit tak terasa dilaluinya ia hanya duduk diam karena lemas. Awan tipis dilihatnya berjalan begitu lambat lalu menghilang di langit yang tinggi. Ingatan Bagas kembali ke masa lalu, saat ibunya membacakan ia dongeng. Mengajari berhitung dengan penuh senyum. Saat berjalan di desa, semua orang melempar senyuman padanya dan orang-orang tua berebut untuk mengendong Bagas. Semua kenangan indah tentang Ibu.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang