6. Permohonan seorang Ibu

4K 98 0
                                    


Malam begitu sendu dengan suara ringkikan serangga yang berorkestra. Bagas memompa petromak yang sudah mau meredup. Ruangan besar itu terang seketika, Bagas memandang Wulan yang duduk di samping Ibu, mereka begitu akrab dan baik meskipun pertemuan mereka hanya dalam hitungan hari. Namun, ada sebuah perasaan yang seolah-olah mengikat mereka menjadi satu. Seperti anak kandung dan ibu kandung, bukan seperti anak tiri dan ibu tiri.

"Wulan, kalau menurut Wulan, pangeran yang dicerita tadi gagah tidak?" Kata Ibu sambil mengusap kepala Wulan.

"Pasti tampan Bu, gagah, perkasa." Jawab Wulan bersemangat.

"Pangeran itu mirip seperti mas Bagas."

Wulan tersipu malu. "Iya sih Bu... Belum pernah Wulan melihat laki-laki tampan seperti Mas Bagas."

Bagas hanya tersenyum mendengar perkataan itu, ia hanya berdiri di pinggir ruangan sambil melihat mereka berdua berbincang. Ibu tersenyum pada pria itu kemudian ia melambai, mengisyaratkan agar Bagas datang mendekat ke arahnya.

Ibu meraih tangan Wulan dan Bagas. Dengan keadaan bingung Bagas mematuhi perintah Ibu. Kemudian saat tangan itu bertemu Ibu tersenyum. "Wulan, Bagas... Ibu punya permintaan. Perasaan Ibu sangat kuat. Menikahlah kalian."

Bagas bertambah bingung. Sama seperti Wulan, tangan mereka pun enggan untuk melepas karena tangan Ibu erat menggenggam kedua tangan mereka. Kesungguhan terbersit di wajah kunyu Puspita. Rasa lega pun seperti terlepas dari ekspresinya.

Sambung Puspita. Perkataan yang membuat Bagas cukup waktu untuk menghela napas. "Wulan harus sekolah. Ia harus selesai paling tidak sampai lulus. Setelah itu menikahlah kalian. Ibu melihat, Wulan sangat pantas bersanding denganmu. Meskipun kalian terpaut 12 Tahun. Wulan 12 dan Bagas tahun ini 24 tahun. Bagas, sabar dan tunggulah anak ini. Didik dengan baik agar keluarga kalian bahagia. Tidak penuh kepalsuan seperti Ibu. Berjanjilah nak."

Tangan Bagas bergetar, dan bibir mengatup kuat. Belum pernah seberat itu ia menerima permohonan. Ia memandang Wulandari yang sama bingungnya. Ia tak tau apa-apa soal pernikahan yang akan ia jalani.

"Bagas..."

"Iya Bu..."

"Berjanjilah nak. Jaga hatimu untuk anak ini."

Dengan berat Bagas berkata. "Saya Janji" Air mata Bagas mengalir. Ia sangat amat tidak sanggup untuk berkata tidak.

"Bangun rumah tangga yang baik dengan Wulan berikan Ibu cucu dari rahimnya. Sekalipun Ibu tidak akan pernah melihatnya." Kata Puspita.

"Wulan, kau anak yang cerdas, Ibu dengar di sekolah rakyat kau bisa lompat kelas meskipun sakit. Ibu senang melihat anak perempuan yang cerdas. Tolong jaga mas Bagas ya. Sekolah yang baik, anak Gadis Ibu harus pintar. Setelah selesai sekolah tinggi, kamu pasti sangat pantas bersanding dengan Bagas."

"Baik Bu." Kata Wulan sambil memandang Bagas. "Wulan sayang Ibu. Wulan janji akan belajar yang rajin." Wulan mengeratkan pelukannya.

"Bu diminum dulu tehnya." Kata Bagas saat tangannya dilepaskan.

"Mas Bagas biar saya saja." Kata Wulan sambil mengambil teh itu. "Bu, malam ini Wulan tidur menemani Ibu."

"Makasi ya nak Wulan. Ibu sayang sekali denganmu. Selain Bagas ternyata kamu juga menjadi alasan Ibu untuk tetap bisa hidup. Jadilah wanita yang cerdas agar kamu bisa bertukar pikiran dengan Suami. Bukan hanya seorang istri yang terus-terusan mengurusi urusan dapur, dan rumah tangga."

"Iya Bu." Kata Wulan.

"Baik bu," Kata Bagas lembut.

Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian Bagas berlalu dari kamar itu, Pikirannya kalut, jiwanya bergejolak dan sungguh ia tidak menyangka ia bisa mengatakan hal itu pada Ibu. Suara Puspita adalah suara seorang ibu yang sangat lembut dan juga tersirat nada tegas. Mendengar suara itu sangat sulit bagi orang untuk menolak keinginannya. Seolah masuk dengan lembut dari telinga kemudian saat sudah diresapi dalam hati, suara itu menyayat dengan tajam.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang