5. Keluarga Baru

4.3K 99 4
                                    

Makanan di meja telah siap. Ratni masih berwajah datar, Kuncoro tersenyum sumringah, sedangkan Wulandari duduk dengan tenang. "Itu Mas Bagas datang! Ayo makan." Kata Wulandari semangat.

"Hai Wulan, sudah kangen-kangennya sama Ibu?"

"Sudah Mas, maaf tadi Ibu minta ditemenin jadinya nggak bisa bantu Mas Bagas."

"Tidak apa Wulan." Bagas tersenyum sambil mengusap-usap kepala anak periang itu. "Ibu sudah mandi. Makasi ya sudah bantu-bantu."

"Wah, Wulan bantu-bantu merawat Ibu?" Kata Kuncoro.

"Iya yah, soalnya Ibu kasian, sudah tidak bisa jalan. Aku ingat dulu waktu aku sakit. Ibu Mas Bagas juga sering cerita tentang dongeng. Ceritanya macam-macam. Kalau ibu Wulan Cuma tau cerita si kancil."

"Dasar, kamu ini." Ratni tersenyum lalu mencubit pinggul anaknya. Setidaknya hanya itu secercah kesenangannya di meja makan.

"Yah nanti kamu yang giliran menceritakan Ibumu." Sahut Bagas kalem.

"Oh iya Kak Bagas, kapan ada acara anak di TVRI?"

"Setiap Senin, Rabu, Jumat. Aku lupa."

"Hmm... Seandainya saja kita bisa nonton di rumah ini ya?"

Bagas tersenyum. "Tanya saja pada pak Lurah. Kapan listrik masuk desa? Kalau itu sudah terjadi yah, kita semua tidak perlu lagi membeli baterai untuk radio, dan bisa ada Tv."

Ratni dan Wulan memandang Pak Kuncoro. "Tidak perlu, untuk apa? Hanya akan membuat kalian malas."

"Tidak begitu juga Ayah, masa kita masih membaca tiap malam dengan lampu sentir, padahal di kota aku belajar dengan bola lampu yang bagus."

"Tinggal saja di Kota jangan di sini." Kata Kuncoro sambil memilah-milah ayam gorengnya.

"Tanah di ujung sungai berikan saja pada pemerintah, bangun Dam lalu pasang turbin, maka empat Desa bisa teraliri listrik. Hidup lebih sejahtera."

"Tidak usah sok kamu ya!" Kata Kuncoro sedikit emosi. "Anak muda tau apa soal mengelola Desa. Kau baru anak kemarin sore berani-beraninya melawan."

Bagas tersenyum. "Aku tidak bermaksud melawan, aku hanya berpendapat, di Orde baru ini pemerintah mulai membangun bangsa. Seyogyanya kita sebagai warga Tegalbiru yang paling memungkinkan untuk jalur –"

"CUKUP!" Kata Kuncoro, sambil memukul meja. Kemudian menunjuk Bagas. "Hari ini suasana hatiku sedang baik, jadi kau tidak perlu membahas soal tanah untuk dijadikan dam. Sampai matipun aku tidak mengijinkan sejengkalpun tanah kita hilang. Apalagi untuk kepentingan banyak orang. Hidup ini hanya sekali perkaya dirimu! Berkuasalah!"

"Oh, benarkah begitu? Bukankah hidup yang sekali itu harus dipergunakan agar bermanfaat untuk orang lain? Bukannya menghilangkan suami orang lalu meniduri istrinya dengan paksa." Sahut Bagas pelan.

"BICARA APA KAU INI!?" Hentak Kuncoro. "Anak durhaka! Jika suasana hatiku tidak baik, sudah kutempeleng kepalamu."

Bagas menghentikan makannya lalu memandang Kuncoro dengan senyuman. "Aku berlatih dibawah desingan peluru, merangkak di lumpur dan suara Bedil dimana-mana. Kau kira tempelenganmu itu lebih hebat dari itu? Aku abdi negara sedangkan kau." Kata Bagas pelan. "Penjual nyawa."

Kuncoro menarik nafas panjang agar tenang. "Baiklah, silakan kau bicara. Suatu hari nanti kelak jika ini semua adalah sah milikku. Kau kuanggap bukan anakku lagi."

"Dengan senang Hati." Kata Bagas sambil melanjutkan makannya.

Satu Meja langsung hening, Wulan keringat dingin dan Ratni bergeming. Mereka makan dalam diam. Dilihatnya Kuncoro masih emosi. Sedangkan Bagas begitu tenang menikmati semua lauk dan nasinya. Ratni sadar, dan befikir, tidak mungkin Bagas berani berkata seperti itu jika tidak mengetahui sesuatu.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang