10. Sudut Kota

2.7K 93 6
                                    

Royal Enfield menderu garang, memecah keheningan jalan yang ramai. Suara garang itu berkontribusi dalam pergolakan sibuknya kota pagi itu. Perjalanan cukup Jauh sudah dilalui Bagas. Ia tenang dalam mengendarai motor dan merasakan terpaan angin yang berdesir menyambut tubuhnya yang dilindungi jaket kulit hitam. Bagas menikmati udara pagi yang cerah di jalanan kota yang masih belum terlalu ramai. Para pedagang nasi pecel yang dipikul, sate, pedagang minyak tanah, dan mobil-mobil Daihatsu Hijet yang baru turun gunung membawa sayuran. Royal Enfield itu dengan lincah menyelip di beberapa truk, melintasi jalan aspal di antara pertokoan bertembok putih kusam setinggi empat lantai bergaya Victorian peninggalan Belanda. hingga sampai di sebuah bangunan kusam nan megah.

Bagunan Notaris dan Badan Hukum Nasional itu berwarna putih kusam, dengan lantai dari tegel hitam. Disebelah bangunan itu ada kantor pos Indonesia berlambang merpati yang sudah ramai. Biasanya para Veteran perang menunggu di sana untuk menerima tunjangan Gaji mereka.

Pintu diketuk, lalu engsel diputar, Bagas masuk dengan santai. Ia sangat terbiasa dengan nuansa ruangan yang penuh arsip itu. Tersenyum ia mendengar alunan lagu yang indah. Lelah dan penatnya lalu lintas yang dipendam dalam tubuhnya memberontak ingin keluar. Sampai akhirnya Pria itu menyerah pada dirinya.

Meskipun sudah berusia setahun, lagu Teluk Bayur masih diputar dan sangat ngetop di tahun 1967. Bagas-pun menyukai lagu ini. Sayang di rumahnya belum ada listrik, jadi tidak bisa pasang TV dan Mendengar radio yang bersuara Indah. Paling hanya Radio National yang bergelombang AM yang ada di kamar Bagas, cukup boros baterai, selain itu terkadang sinyal terganggu. Radio yang paling besar dan bagus ada di Balai Desa, biasanya sore-sore para petani duduk bercengkrama di sana sambil menunggu anak-anak mereka nonton TV.

Bagas duduk di kursi kayu sambil bersandar. "Bung! Perjalanan jauh, saya ingin menikmati lagu ini sejenak."

"Santai saja Bung. Nikmati selagi bisa, cukup beruntung kau Bagas. Baru sampai lagu baru dimulai." Kata pria berkemeja dan berdasi yang sedang duduk membaca berkas di meja kantornya.

"Nikmat sekali bung Satrio, anda bekerja sambil ditemani tembang-tembang cantik. Sayang listrik belum masuk ke rumahku."

"Ah, jangan begitu. Rumahmu itu sangat tenang. Pemerintahan sedang rumit. Masa transisi sedang berjalan sejak supersemar diterbitkan. Semoga Presiden baru kita bisa memimpin dengan baik."

"Benar bung, Rumit sekali hidup ini, dulu waktu kecil ibu cerita kalau ia sembunyi di kolong tempat tidur karena mau diperkosa tentara Jepang. Lalu perang melawan Belanda, dan kejadian kemarin saat Gestapu, banyak orang hilang. Ahh... Kapan negeri ini bisa damai?"

"Kau beruntung Bung! Kau tinggal jauh dari pusat pemerintahan, kau tau saat gestapu dulu, di sini tidak ada yang berani keluar, dan kabar burung. Di sungai ujung kota, mayat-mayat dibuang begitu saja tiap malam. Ah, mencekam sekali." Satrio mengelap kepalanya yang botak itu dengan saputangan. "Ahhh... Maaf Bung, sampai lupa saya tawarkan kau minum. Saya ambilkan Sarsaparilla segar. Kisanak berminat?"

"Boleh bung, kebetulan saya cukup haus."

Satrio beranjak dari mejanya lalu keluar kantor, hanya dalam waktu 10 menit ia kembali, menawarkan Bagas botol kaca dingin yang berisi Sarsaparilla. "Silakan bung, selagi dingin."

"Terima kasih." Kata Bagas sambil meneguk minuman itu dari botolnya. Hitungan detik minuman itu langsung habis setengah. "Ah, Dahaga langsung sirna... Tinggal di Kota enak, apapun ada."

"Tidak seperti itu Bung, hidup di kota itu rumit. Ah, terlalu asik kita berbincang sampai saya lupa tujuan anda datang kemari."

"Ah, Iya Bung. Semua berkas sudah ditandatangani Ibu."

"Wah, selamat kini adalah pewaris tunggal kekayaan Meneer Beckhoff. Pemasok hasil perkebunan termasyur dari jaman VOC."

Bagas mengambil semua berkas lalu memberikannya pada Pak Satrio, ia mengecek satu-satu dengan teliti penyerahan aset itu. "Apakah sudah lengkap?" tanya bagas setelah beberapa saat.

"Lengkap Bung. Ini sangatlah lengkap. Meskipun begitu, bung Bagas sudah berhak menggunakan harta kekayaan keluarga besar. Syukur bukan Ayah anda yang menggunakannya."

"Yah, itulah yang saya perjuangkan."

"Ah, ada lagi bung. Ini sangat rahasia. Tunggu sebentar." Satrio mengambil kotak brankas yang berada di dekat mejanya ia memutar knop lalu membukanya. Kemudian ia mengambil sebuah surat yang kertasnya sudah kekuningan. "Bacalah."

Bagas membaca surat itu dengan seksama. Intinya disitu tertulis, jika salah satu dari Puspita dan Kuncoro meninggal dunia, mereka sepakat untuk memberikan seluruh kekayaan mereka kepada anak mereka yang bernama Bagas. Terdapat tanda tangan di materai, dan dua cap jempol darah. "Astaga... Kenapa saya baru mengetahui ini?"

"Saat Nippon menyerang. Waktu itu kau berusia satu tahun. Kehidupan Ayah dan Ibumu selalu terancam oleh tentara Jepang. Mereka sering bersembunyi, dan kau hidup dengan almarhum pamanmu di dalam hutan. Pamanmu yang berbadan besar itu, ditakuti tentara Jepang karena ia mantan militer Kompeni yang Tangguh. Saat itu tiba, Orang tuamu sepakat, jika salah satu dari mereka Mati, maka kau menjadi pewaris tunggal harta mereka. Maka dari itu surat itu dibuat dalam keadaan genting. Hanya ada pulpen dan cap darah, karena perjanjian itu sangatlah sakral. Itu sudah sangat sah. Sekalipun Ayahmu begitu, mereka semua menyayangimu."

Bagas tidak mengingat ayah, yang ada dipikirannya hanyalah Ibu. Karena ibu sudah berfikir sejauh itu. Bagas menangis dan ia memandang jendela, kemudian ia merogoh kantongnya. Ia lupa kalau ia sudah memberikan saputangan kepada Ibu tirinya.

"Pakailah punyaku yang masih baru." Kata Satrio, sambil mengambil saputangan dari dalam tas kerjanya. Bagas mengambil itu lalu mengelap matanya.

"Tolong simpan ini semua dengan nyawamu bung. Saya akan bayar berapapun jasamu."

"Tidak usah repot Bagas, Keluargamu dulu yang menyelamatkan orangtuaku. Aku berhutang nyawa pada kalian. Sudah Lah, kita hidup di jaman sulit, yang paling penting kita harus saling tolong."

"Baik Bung. Saya tidak akan berlama-lama lagi. Saya yakin pekerjaan anda sangatlah banyak. Mari saya pamit. Semoga keluarga sehat Bung."

"Salam untuk Ibu Bagas. Semoga keluargamu juga sehat."

Bagas beranjak lalu bersalaman dengan pak Satrio. Ia keluar dari kantor itu dengan mata sembab. Kemudian ia menaiki motornya dan berjalan melintasi kota. Dua kali putaran sampai ia cukup tenang, jalan kota yang dilaluinya mengingatkan dirinya akan masa lalu yang ia selalu banggakan. Dimana saat itu sekolah, mempunyai teman banyak, lalu lolos seleksi ujian militer.

Apa yang dirasakan Bagas akhirnya berangsur-angsur sirna, masa kini sudah menunggu perjuangannya untuk mengungkap kebenaran. Dilaluinya jalan besar itu, terik matahari dan debu jalanan diterjangnya. Kini ia berurusan dengan sesuatu yang berada di pinggir jurang yang dalam, menyangkut dengan kematian ataupun jiwanya. Karena jika terlalu dalam ia masuk bukannya tidak mungkin ia dituduh pengkhianat negeri. Mengundurkan diri dari militer dan menyelidiki isu sensitif di tahun 1965, tidak lain tidak bukan hanya untuk mengungkap kebenaran akan kelaliman Ayahnya.

Semenit dari jalan besar, Royal Enfield itu berhenti di Markas Besar Polisi Republik Indonesia.

"Ada yang bisa kami bantu bung?" Kata seorang yang berseragam coklat.

"Saya ingin bertemu Ridwan Warsito pak."

"Ada kepentingan apa?"

"Tambak Tebu pak." Kata Bagas.

Polisi itu langsung mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kemudian Bagas duduk di ruang tunggu. Kantor polisi sedang ramai saat itu. Ada yang membuat SIM ada yang mengajukan laporan kehilangan. Ada pula yang datang dengan tampang bingung karena kehilangan sesuatu. Kemudian setelah sesaat menunggu. Polisi yang menyambut Bagas tadi menyerahkan secarik kertas.

Sejenak Bagas membaca lalu ia mengangguk dan berlalupergi.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang