48. Berpisah

1.2K 74 24
                                    

Di sekolah Asrama kota Bagas mengantar Wulandari dengan motornya. Ia parkir di lapangan sekolah lalu membantu Wulandari turun. Suasana sedang sepi karena masih dalam jam pelajaran sekolah. "Apa di antar sampai sini cukup?" tanya Bagas.

"Cukup kak, tapi sebenarnya ada yang ingin saya utarakan."

"Baiklah, bagaimana jika kita duduk di bangku bawah pohon sana." Kata Bagas santai.

Wulandari hanya mengangguk pelan dan mengikuti ajakan Bagas. Kemudian Bagas menuntun motornya ke tempat parkir yang teduh dan berjalan 10 meter ke bangku di bawah pohon Ketapang. Bagas dan Ratni duduk diam dalam tenang, merasakan angin berdesir yang menerpa tubuh mereka. Apa yang terjadi begitu cepat sampai kepergian ibu mereka yang dikasihi.

"Wulan, apakah yang akan kau bicarakan itu adalah kata-kata terakhir Ibu sebelum ia berpulang?" tanya Bagas.

Wulan menggeleng. "Untuk hal itu, Ibu berpesan agar hanya diriku yang tau, karena aku yang tau jadi aku punya hak untuk memutuskan sesuatu jika sudah dewasa nanti."

Bagas mengangguk "Baiklah, aku hargai itu."

"Kakak tau, permintaan Ibu adalah hal yang paling sulit ditolak. Aku tidak kuasa menolak apa yang sudah dikatakannya. Karena aku percaya jika aku menolaknya sesuatu yang buruk akan terjadi." Kata Wulandari. Kemudian ia menarik nafas panjang. "Ibu Puspita, adalah pengganti sosok Ibuku. Dulu ibuku terlalu bekerja keras, sampai bermain dengannya pun aku tak sempat. Malah aku lebih akrab dengan ayah. Saat ayah tidak ada aku jatuh sakit, dan aku dirawat oleh nenek. Ibu tidak sempat mengurusiku, ia selalu bekerja banting tulang untuk membelikan obat, dan Nenek selalu berkata, kalau ia sangat mencintaimu dan ia hanya ingin aku sembuh. Tapi tak lama kemudian Ibu menikah lagi." Wulandari berhenti sejenak.

"Apa yang terjadi padaku memanglah sulit. Aku masih tidak mengerti bagaimana kehidupan ini berjalan. Saat melihat Almarhum Ibu Puspita, aku menyadari bagaimana saat aku sakit dulu. Aku pun ditolong, dirawat dengan kasih sayang. Maka dari itu aku merasa harus merawat almarhum Ibu, dan ternyata, ia adalah wanita terbaik yang pernah aku temui. Pantas saja, hampir seluruh desa berbondong-bondong datang untuk melayat. Ia bukan hanya ibu kita, ia juga Ibu masyarakat." Wulandari mulai menangis ia teringat, saat nafas terakhir Puspita, dan saat akhir menutup mata. Seperti ada ruh yang hilang dari setengah tubuhnya.

"Ia berharap padaku untuk bisa menemani kakak, agar kebaikannya tidak berhenti sampai di dirinya. Ia berharap padamu dan padaku." Wulandari mengelap air matanya. "dan... Untuk beberapa waktu, aku tidak mau pulang ke Bukit Gedang. Aku ingin serius di sini. Jika ingin menjengukku. Jenguk saja dengan Ibu."

"Apa kau serius? Aku tidak masalah mengantarmu pulang."

"Aku tidak ingin bertemu Ayah. Dan kak Bagas..."

"Yah." Kata Bagas penasaran karena suara Wulandari terpotong oleh tangisan.

"Janji Ibu akan tetap kutepati, kecuali kakak punya alasan lain. Aku bersedia, hanya saja saat itu terjadi aku ingin tidak ada ibu diantara kita."

"Maksudmu?" Kata Bagas heran, jantungnya berpacu dengan cepat dan darahnya berdesir kencang.

"Almarhum menceritakan semuanya. Termasuk kehadiran Winata. Jujur aku sangat terkejut. Untuk menerima semuanya aku butuh waktu. Semua terjadi karena Ayah. Aku membencinya, dan sejujurnya juga aku benci Kak Bagas dan Ibu. Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Maka dari itu, biarkan aku bersekolah dengan tenang."

"Ah, Ibu sudah tau. Sebelumnya maafkan aku yang sudah melakukan semuanya. Kami berada di-"

Wulan memegang tangan Bagas. "Aku percaya, kakak adalah orang yang baik. Ibupun begitu. Maka dari itu Almarhum berkata agar kita semua kuat menghadapi segalanya, dan ia benar. Aku tak tau kapan aku bisa pulang. Masih tak ingin. Tapi jika ingin melihatku, silakan kemari aku tidak kemana-mana."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang