22. Hati yang Luka

2K 80 6
                                    

Ratni beranjak dari tempatnya duduk, pikirannya kosong dan hatinya berkecamuk, perlahan ia berjalan ke hutan. Langkah pelan itu menjadi semakin cepat, dan semakin cepat. Rasa hatinya berkecamuk dan luka batinnya robek tak terkendali, sehingga ia harus berteriak sekeras-kerasnya di bukit untuk mengeluarkan ruh-ruh kepedihannya pada pohon dan burung-burung di hutan.

"Ah, Ini salah saya! Cepat sekali Nyi Ratni berlari." Kata Rusmidi.

"Seharusnya saya tidak membawanya ke bukit untuk mendengar cerita itu pak. Sudalah, mari kita cari, tadi teriakannya dari sana." Bagas berlari melintasi pohon. "IBUU..." Teriak Bagas.

Ratni tidak mau disusul ia terus berlari tanpa arah menembus semak, menghantam ranting, hingga akhirnya ia jatuh tersandung, lalu terjelembab ke bawah bukit. Saat itulah Ratni tidak mau bergerak lagi, tubuhnya lemas dan tangisnya memudar. Ia hanya terisak sambil telungkup di tanah. Rasa jiwa yang benar-benar keluar dari tubuh.

Bagas datang dengan Rusmidi. Ia membantu Ratni untuk duduk normal. Tangisan pedih Ratni mengalir tak terhenti. Bagaspun memeluknya. "Ibu, ibu... cukup. Aku tau itu sangat pedih. Tapi kepedihan tidak akan menyelesaikan apapun."

"Apa salahku nak, apakah kekurangnku sehingga suami yang kucintai harus diperlakukan seperti binatang? Aku menyayanginya aku menyayangi anakku. Keluarga kami memang kurang mampu, tapi mengapa harga diri kami juga direngut?" Kata Ratni dengan nada sedih.

"AKU TAK BISA APA-APA LAGI! AKU MAU MATI!!! MAS SUWITO!!!" Teriak Ratni.

Bagas kehabisan kata-kata. Ia memeluk Ibu tirinya dengan sangat erat. Kemudian setelah tenang ia dan Rusmidi membantu berdiri.

"AWH!" Ratni memegang kakinya.

"Kaki Nyai terkilir, sampai bengkak begini. Nanti dicarikan tukang pijat." Kata Rusmidi

"Iya, tolong ya pak." Kata Bagas, "Saya gendong Bu." Kemudian Bagas membungkuk dan mengangkat Ratni di punggungnya. Setelah itu mereka berjalan keluar hutan, pak Rusmidi berlari mencari tukang pijat sedangkan Bagas menggendong Ibunya berjalan perlahan.

Ratni hanya mendekap leher Bagas, sambil menghirup aroma tubuhnya. Namun, luka hatinya tidak bisa sembuh oleh karena perlakuan itu. Indra perasanya benar-benar mati, malam terakhir itu, Suwito terlihat takut, ia mencium kening Ratni dan Wulan. Keringat dingin di wajah Suwito terlihat jelas dari cahaya obor. Dan senyum getir Suwito malam itu adalah senyum terakhirnya pada Ratni.

"Bagas..."

"Iya Bu..."

"Maafkan ibu menyusahkanmu, ibu tidak tahan rasanya mendengar cerita itu."

"Tidak apa Bu, itu sangat amat wajar. Aku tau perbuatan ayah tidak termaafkan."

"Jangan bicarakan ia Bagas, aku tidak ingin bertemu binatang itu lagi. Kalau bisa selamanya. Bagas... Mengapa aku tidak berjumpa dengan jejaka sepertimu dulu? Kau baik dan sangat sayang pada ibumu. Aku hanya sayang pada anak sepertimu yang ringan tangan, tetapi punya Ayah busuk seperti Kuncoro."

"Mungkin takdir Bu... Sungguh maafkanlah aku tidak bisa menolong Ibu. Mendengar cerit itu pun aku semakin yakin kalau aku harus mengakhiri penderitaan mereka."

"Kau hanya perlu menjalankan rencanamu nak. Iris pelan-pelan sampai si Cabul itu mati. Akupun sangat ingin melihatnya menderita. Betul katamu, Mati itu terlalu mudah untuknya, aku pun bukan orang pintar. Kau banyak membaca, seharusnya kau tau bagaimana melakukan itu."

"Sedikit banyak tau. Tapi aku tidak tau mulai dari mana. Rasa yang paling sakit itu adalah saat kita dikhianati. Kehilangan orang tersayang. Tapi aku belum tau apa itu. Yang jelas, berpura-puralah Bu, buat ayah tergila-gila, ambil harta dan kekuasaannya lalu campakkan ia."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang