36. Awal hubungan Terlarang

3.7K 114 49
                                    

Cinta adalah hal yang sangat rumit, seperti pisau, cinta hanyalah sebuah alat, ia murni tapi juga penuh dosa, ia suci tapi juga kotor akan kebuasan nafsu. Dari cinta tumbuh nafsu, dari cinta pula bisa membuat sebuah kehidupan baru.

Koper besar sudah dinaikkan ke mobil dan Wulan berpelukan dengan Ibu Puspita. Ia menangis karena harus berpisah. Sedangkan Bagas dan Ratni mengantarnya pergi ke kota. Bagas sudah siap dengan mobilnya dan Ratni sudah berdandan cantik dengan kebaya.

"Kami akan pulang besok Kak, aku ingin melihat jalan kota yang terkenal itu." Kata Ratni.

"Ah, kau ini, kau hendak menginap di mana?"

"Tenang Bu di sana banyak penginapan. Musim liburan ini di sana pasti ramai." Kata Bagas santai.

"Yah, bersenang-senanglah kalian. Jangan pikirkan diriku. Terserah kalian ingin melakukan apa muda-mudi. Aku cukup sedih tidak ada Wulan dan kalian. Tapi tidak apa, aku bisa menjalani hariku dengan baik bersama mereka." Kata Puspita pada Inten dan Pak Wo.

"Tenang Den Bagas, kami akan menjaga Ibu dengan sepenuh hati. Lagi pula Bapak tidak dirumah." Kata Pak Wo.

"Mereka sudah seperti keluargaku sendiri. Pergilah kalian, jangan lupa. Wulan belajarlah dengan giat." Kata Puspita, dan dibalas Wulan dengan anggukan yakin. Dipeluknya Puspita, dan saat dilepaskan air mata Wulan tidak terbendung.

"Sudah, jangan sedih, nanti kan kamu pulang seminggu sekali." Kata Ratni.

"Iya Bu tapi sudah terbiasa dengan Ibu Bagas."

"Nanti kau juga terbiasa dengan teman-temanmu." Kata Bagas santai, kemudian ia membukakan Ratni dan Wulan pintu mobil. Mereka semua masuk mobil Datsun biru itu lalu Bagas menyetir meninggalkan Rumah. Wulan masih memandang halaman rumah bukit Gedang itu. Mobil pun turun bukit dengan pelan menuju jalan utama Desa.

Udara hangat mulai terasa, tengah tahun yang indah sudah berlalu. Pagi yang indah melintasi jalan antar kota. Sungai dan Sawah dilalui dengan damai, akhirnya sinyal jelas diterima radio di mobil Datsun tahun 1960an itu. Hari yang begitu indah dirasakan oleh mereka, sambil mendengar tembang nasionalisme RRI.

Sejenak Wulan menikmati jalan kota, sambil sarapan kue wajik yang ia bawa dari rumah. Ibu dan Bagas saling bercerita tentang perjalanan dan tempat-tempat bagus di Kota. Akhirnya sampailah mereka di sebuah gedung megah berhalaman luas. Di sana terlihat cukup banyak murid-murid yang turun dari mobil. Mereka semua seusia Wulan. Bagas menemui mantan Gurunya waktu di sekolah dulu. Kemudian mereka diantarkan ke kamar asrama Wulandari.

Mereka melewati lorong yang berlantai hitam yang mengkilat bersih dan terawat. Gedung putih itu masih dikenal baik oleh Bagas, pilar-pilarnya, jalan menuju perpustakaan dan halaman sekolah yang cukup luas. Semua masih asri dan indah. Sampailah mereka di kamar Wulan. Di kamar itu ada 4 kasur bertingkat. 1 kamar yang diisi 4 orang, dengan ruang belajar dan kamar mandi yang ada di seberangnya.

Tak lama mereka duduk-duduk di depan kamar Wulan, Bagas menceritakan tentang sekolah itu. Datanglah teman sekamar Wulan, mereka juga diantar oleh orang tuanya. Berkenalan sejenak, kemudian mereka pergi berkeliling sekolah. Sampai tak terasa hari sudah siang, Ratni sangat bangga pada Wulandari. Mereka memutuskan makan siang di pusat kota, karena di sana banyak sekali jajanan yang lezat. Setelah itu Ratni pergi memesan kamar Hotel, sedangkan Bagas dan Wulan berjalan-jalan di museum peninggalan penjajah yang terletak di dekat pusat kota itu. Meskipun belum semua tempat di pusat kota dijelajahi, Wulan cukup senang karena mendapat dua baju baru yang dibelikan Bagas di pusat perbelanjaan termewah di tempat itu.

***

"Sudah jangan menangis lagi Bu, setelah pelajaran dimulai setiap Sabtu dan Minggu ia boleh pulang. Nanti aku yang menjemputnya."

"Kau tidak tau rasanya berpisah dengan anak." Kata Ratni. Kini ia sudah agak tenang.

"Yah mau bagaimana lagi, dulu Ibu juga sedih sewaktu aku ke asrama." Bagas mengenang masa itu. "Akupun cukup rindu akan rumah, tetapi saat di sana, karena banyak teman, aku jadi tidak ingin pulang. Ngomong-ngomong, dimana Hotel yang di sewa Ibu tadi? Kita jadi bermalam di kota kan?"

"Iya jadi, ada di ujung jalan kota. Hotel yang paling besar di sana."

"Baiklah bu." Kata Bagas saat menuju hotel itu. Mobil memasuki halaman dan mereka turun disambut oleh pembawa koper. Tas Bagas dan Ratni tidak banyak, kemudian mereka check in. Tetapi karena sore dekat dekat dengan jam malam mereka memutuskan untuk menusuri jalan di pusat kota itu.

Saat matahari turun di ufuk barat. Aroma sate tercium sangat menyengat dan menggugah selera. Akhirnya mereka memutuskan untuk memakan sate dan gule. Dilihatnya Bagas begitu lahap menyantap sate kambing berbumbu kecap. Ratni beranjak sejenak lalu memesan Jamu untuk Bagas.

"Apa ini Bu?"

"Sudah, minum saja setelah makan. Itu jamu untuk kesehatanmu."

"Jangan-jangan ini diselipkan obat peningkat tensi." Canda Bagas dan Ratni langsung menepuk pundak Bagas. Bagas hanya tertawa dan karena tidak bisa menolak pemberian ibunya ia pun meminum Jamu itu. "Rasanya aneh. Seperti ada rasa telur amis."

"Iya, di sana ada telur ayam kampung, untuk penambah stamina."

"Hah? Aku tidak lemas sama sekali Bu."

Ratni tersenyum. "Kau kan dari tadi sibuk mengatarku dan Wulan, jamu itu bisa membawamu tidur lebih pulas, karena pagi-pagi kita harus pulang, bukan."

"Ah, benar sekali, kau perhatian sekali padaku Bu."

"Sudah tentu, kau lebih kusayang jauh daripada suamiku." Kata Ratni.

Bagas tersenyum, kemudian setelah makan mereka pergi ke hotel tempat mereka menginap. Setelah naik ke lantai 2 mereka memasuki kamar. Bagas cukup terkejut dengan kamar yang luas itu.

"Aku tidur di mana Bu? Kenapa kasurnya Cuma satu?"

Ratni tersenyum. "Kita kan sudah terbiasa bersama Bagas, mengapa harus pisah ranjang?"

"Apa kau yakin Bu?"

"Sangat yakin anakku. Mumpung kita di kota, mumpung Suamiku pergi seminggu, kita manfaatkan waktu-waktu kemesraan ini? Ataukah kau tidak menginginiku?"

"Aku ingin Bu, tapi apakah ini sudah kelewat Batas?"

Ratni tersenyum. "Biar kita saja yang tau, aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Ratni mengelus dada bidang Bagas."

"Baik, aku mandi dulu."

"Silakan nak." Kata Ratni, ia mengerti dari nada suara Bagas, pria itu terlihat sangat bingung.

Beberapa menit kemudian Bagas sudah keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan tubuh bidangnya terlihat sangat jelas. Saat melintasi Ratni aroma tubuh pria itu merasuk jelas ke hidungnya. Segar dan sangat alami, sampai-sampai tanpa sadar, Ratni menggigit bibir bawahnya. Tanpa kata ia langsung ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya cepat-cepat. Kemudian saat selesai mandi, ia sejenak berkaca dan membubuhi wajahnya dengan sedikit bedak dan gincu agar lebih menggoda.

Masih dengan handuk yang menutupi tubuh telanjangnya. Saat selesai mandi, Ratni menungunci kamar hotel. Kemudian berjalan menuju Bagas yang masih menggunakan handuk putih hotel untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, sedangkan dadanya dibiarkan telanjang bebas. Bagas berdiri di jendela memandang halaman hotel yang sudah gelap.

Perlahan Ratni mendekat dan memeluk tubuh kokoh itu dari belakang. Menyesap hawanya yang maskulin dan merasakan kehangatannya. Malam ini apapun ia akan lakukan untuk merengut keperjakaan anak tirinya itu.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang