12. Percakapan dua Istri

2.5K 91 6
                                    

Wajah Ratni terpantul dalam bayangan cermin. Sambil menyisir rambut yang panjang dan tebal hingga paha itu Ratni merenung memandang dirinya. Wajah putihnya, mata bulatnya dan juga bibir merahnya. Setelah disisir Ratni menggulung rambutnya. Alat make-up sangat lengkap diatas meja rias yang mewah itu, dari parfum, bedak, dan gincu berbagai warna. Ratni lebih senang memoles alami wajahnya, hanya bedak tipis dan sentuhan Gincu merah jambu. Ia sebenarnya tidak akrab dengan barang-barang itu. Namun, Suaminya memberikan semua itu sebagai seserahan saat menikah.

Ratni keluar kamar, berjalan menuju tangga, karena kamar utama ada di lantai 2. Ia melintasi selasar yang dinaungi pilar-pilar putih kusam yang tinggi. Terlihat beberapa orang pegawai yang menyapa 'nyai' dari kebun. Ratni tersenyum pada setiap pegawai rumah itu yang ditemuinya. Kemudian ia berjalan memasuki sebuah kamar yang terletak di ujung rumah. Ratni melihat Puspita sedang berbaring, ia mengerenyit pada Ratni kemudian tersenyum. Ratni agak canggung, ia mendekat pelan-pelan ke Puspita.

Tangan putih Ratni ditarik dan dipersilahkan duduk di samping Puspita. Ratni membalas senyum Puspita dengan agak canggung. Puspita mengelus-elus tangan Ratni dengan lembut.

"Selamat pagi ... maaf, Saya bingung harus memanggil bagaimana?" Kata Ratni canggung.

"Kita sudah satu keluarga, Aku sangat tidak keberatan jika kau memanggilku kakak." Benar yang dikatakan Bagas, Suara Puspita begitu teduh dan tenang.

"Baik Kakak..."

"Selamat pagi adikku sayang... Apa kabarmu hari ini?"

"Ba, ba-ik Kak." Sahut Ratni canggung.

Sejenak mereka berdua terdiam.

"Saya suka dengan Wulan anakmu. Ia periang sekali, mengingatkan saya waktu masih muda dulu. Banyak sekali bertanya akan ini dan itu, sampai Ayah dan Ibu saya pusing."

"Maaf Kak kalau Wulan merepotkan."

Puspita menepuk tangan Ratni "Hais! Jangan begitu... Justru dia salah satu kebahagiaan saya. Saya rela bertahan hidup demi mendengar celotehannya tiap hari. Dia pun suka sekali mendengar dongeng. Dari dulu... Saya ingin sekali punya dua anak, Perempuan dan laki-laki. Tetapi selain karena tubuh saya Lemah, suamimu tidak cukup bisa memberi keturunan."

"Maksudnya Kakak?"

"Menurut dokter 'bibit'nya lemah, Bagas lahir saja itu sebuah keajaiban. Ia terlalu banyak merokok."

"ahh... Saya mengerti kakak..."

"Untung Bagas mengambil banyak kemiripan dari Saya."

"Iya saya juga melihat seperti itu. Kakak hebat, sudah melahirkan dan membesarkan anak setampan dan segagah Bagas. Rumor itu tersiar sampai ke kampung saya Kak."

"Hmm... Wajar kau mengaguminya kalian seumuran. Sudahkan kalian berbincang-bincang?"

Ratni mengangguk. "Iya kak, saya sudah bertemu dengannya, ia sangat baik terhadap saya, meskipun saya adalah ibu Tirinya. Karena dari banyak cerita, saudara tiri sulit hidup bersama."

"Hidup itu singkat, maka dari itu pergunakan sisa-sisa kehidupan itu dengan baik. Kau orang baik, dan Bagas tau itu. Maka dari itu ia pun baik padamu. Begitulah alam bekerja. Taburkan benih kebaikan, dan kau akan menuai buah kasih dari bibit yang sudah menjadi pohon itu."

"Benar Kakak..."

"Saya paham kau tidak bahagia dengan suamiku."

Ratni terhenyak kaget. "Ti- tidak kak, sa-saya bahagia..." Kata Ratni terbata-bata.

"Ratni... Sorot matamu tidak bisa berbohong. Kita sama-sama wanita, kita sama-sama seorang Ibu, sudahlah... Tak perlu berpura-pura."

Air mata Ratni menetes. Ia memalingkan wajahnya. Lalu menunduk.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang