25. Cincin Batu merah delima

2.3K 80 7
                                    

Bagas memarkir mobilnya di pabrik gula di bagian barat, malam itu pukul 22.00. Lengkap dengan jaket dan sepatu boot serta celana panjang. Bagas mengambil senter lalu kantong plastic besar pesanan Ridwan. Saat akan keluar ia melihat Ratni dengan pandangan mata yang kosong, air mata langsung berlinang. "Jika Ibu merasa tidak enak, silakan tinggal di mobil, aku akan meningalkan termos air minum di sini."

Ratni memandang Bagas, "tidak. Aku harus ikut." Katanya mantap meskipun air mata membanjiri pipinya.

Bagas mengelap air mata itu. Pipi Ratni terasa dingin. Kemudian dengan satu anggukan Bagas meyakinkan. Ratni pun membalas mengangguk dan memantapkan hati. Pintu mobil dibuka, mereka keuar dan menutup pintu itu dengan sura berdebam hampir bersamaan. Bagas berjalan bersisian dengan Ratni sambil menyenter jalan. Keadaan di ladang itu sangat gelap, hanya angin dan beberapa percikan air dari tambak yang terdengar. Bulan mati menambah sunyi suasana yang mencekam itu, ditambah lagi bisikan-bisikan daun tebu yang terterpa angin.

Ratni Menggenggam tangan Bagas dengan sangat erat, seolah tidak mau melepaskan tangan kokoh itu. Bulu kuduknya bergidik saat lehernya terterpa angin, padahal jaket wool hitam, sudah melindunginya. "Tanganmu hangat Bagas, kau sepertinya tidak takut sama sekali."

"Tidak Bu, aku juga sebenarnya takut." Kata Bagas pelan. "Tetapi kuberanikan saja. Karena ini yang terakhir. Biarlah korban yang dimanfaatkan itu dimakamkan dengan layak."

"Iya Nak. Aku hanya ingin mendoakan mendiang suamiku." Kata Ratni.

"Mungkin itu tempatnya." Bagas mengambil topi kupluk maling yang menutupi wajah, hanya mata dan mulut yang terlihat. "Pakailah, karena ini operasi rahasia, dan jangan ungkap identitas pada siapapun, sekarang nama ibu adalah ayam dua dan aku ayam satu. Mengerti."

"Baik nak" Ratni mengangguk lalu memakai topi kupluk maling itu.

Setelah berjarak beberapa meter dari tempat kejadian seseorang mendekat lalu bertanya pada mereka. Orang ini juga memakai topeng sama dengan Bagas dan Ratni. "Kadal satu"

"Ayam Satu" Bagas menujuk Ratni. "Ayam dua"

"Ayam satu dan dua, kau hanyalah saksi. Tidak diperkenankan berbicara pada serigala eksekutor lapangan. Tunggulah di gudukan tanah itu dan biarkan para Serigala bekerja. Mengerti? Kami tidak bertanggung jawab atas kelselamatan kalian. Karena operasi ini bersifat sangat rahasia."

"Diterima Kadal satu"

"Baik, Ayam satu dan Ayam dua, silakan menuju tempat lokasi."

Ratni dan Bagas menuju gundukan tanah yang cukup tinggi. Biasanya di sana dipakai untuk beristirahat para petani tebu. Dari sana mereka melihat beberapa orang menggali dengan lincah. Bagas yakin, Rusmidi adalah salah satu orang di sana. Karena setelah Bagas mendengar cerita Rusmidi, ia mengirim telegram pada Ridwan. Saat menunggu seseorang datang pada mereka.

"Ayam Satu, saya kadal Tiga, apa kau membawa kantong plastic?"

"Saya bawa cukup banyak" Bagas menyerahkan kantong plastic hitam pada seseorang yang berjaket kulit. Terlihat revolver di pinggangnya.

"Ini lebih dari cukup. Tulang belulang telah ditemukan. Saat serigala pergi lihatlah barang-barang bukti siapa tau Ayam satu atau Ayam dua mengenalinya. Untuk memperkuat laporan ini."

"Baik Kadal tiga, terima kasih atas informasinya."

Tak lama kemudian terlihat sekitar delapan orang berdiskusi, satu diantaranya memfoto tempat kejadian lalu mengambil tulang beluluang itu. Pemandangan yang cukup mengerikan, saat tulang-tulang Manusia yang bercampur itu masukkan ke kantong plastic hitam. Setelah itu beberapa orang pergi, dan hanya tinggal 2 orang di sana, tulang-tulang itu sudah tersusun rapi, tanah galian sudah tertutup kembali. Salah seorang dari mereka memanggil Bagas dan Ratni untuk turun dan melihat barang bukti.

"Ayam satu dan Ayam dua, Saya Kadal tiga. ini adalah barang bukti yang berhasil kami temukan. Apakah ada dari antara barang ini yang kalian kenali?"

Ratni memperhatikan dengan seksama beberapa peluru, ada kalung dan beberapa kain goni. Kemudian tangannya bergetar, jantungnya berdegub kencang dan keringatnya menetes. Topi kupluk itu menjadi sangat pengap dan nafasnya menjadi satu-satu. Ingatannya kembali ke masa lalu.

***

Ratni berjalan di alun-alun desa Lembayung, di sana ada pasar malam dadakan yang sangat ramai. Kesempatan itu jarang sekali ada. Sambil membeli gula-gula kapas dan beberapa gulali Ratni melihat pedangang batu-batu akik yang sedang di kerumuni oleh orang-orang. Kemudian ia mendekat lalu melihat-lihat batu-batu itu. Ada giok, ada zamrud, bacan hijau, kalimaya dan beberapa jenis diantarnya. Namun, ada yang menarik perhatiannya. Batu Akik Merah delima yang merona. Ratni suka warna merah, kemuidan ia mengambil batu itu dan melihat-lihatnya lagi.

"Murah itu Jeng Ayu. Batu langka merah delima, membawa keberuntungan."

Ratni tersenyum, ia sebenarnya tidak begitu percaya soal klenik. Tetapi ia berfikir kembali untuk memberikan sesuatu pada suaminya tercinta. Ratni bertanya berapa harga benda itu, kemudian setelah menghitung uangnya ia mendapatkan cincin merah delima yang indah. Cukup dalam ia merogoh dompet, tapi baginya itu hanyalah pengalaman sekali seumur hidupnya.

"Mas Wit!" Teriak Ratni saat Suwito berbincang dengan temannya.

"Kenapa Nik!?" Sahut Suwito saat mendekati istrinya.

"Hadiah Mas." Ratni mengambil cincin itu lalu menmasangkannya di jari manis kanan Suwito.

"Ya ampun, Bagusnya Sum. Ini mahal kan?"

"Simpanlah Mas, hitung-hitung aku tidak pernah memberikan apapun pada Mas Wit."

"Kau memberikan Wulan saja sudah menjadi harta terbesarku, ditambah ini." Kata Suwito.

"Kemarin Mas Wit membelikan keluargaku kalung emas, dan juga kain batik yang indah. Simpanlah Mas aku ingin kau menyimpannya sampai kapanpun.

"Pasti Nik. Tapi ini benda yang sangat mahal. Terima kasih Ratniku Sayang."

Ratni cukup malu saat Suaminya mencium keningnya. Tapi ia tidak peduli, meskipun banyak pria iri pada Suwito. Setelah itu sejenak mereka bermain komedi putar dan bianglala dan pulang untuk bertemu Wulandari yang masih sangat kecil.

Semenjak peberian cincin dari Ratni, Suwito tidak pernah melepas cincin itu barang sedetikpun. Saat bekerja ia mengalungkannya. Saat berpergian cincin merah delima itu disematkan di jarinya. Suwito sampai terkenal menjadi pria yang bercincin merah delima.

***

"Ayam dua, apakah kesaksianmu menyatakan ini barang dari korban?" Tanya kadal Dua.

"Benar pak." Sahut Ratni getir.

"Baik, siapa nama Korban?"

"Suwito Nurhaidin pak.

Kadal Dua mencatat di buku kecil sambil diterangi senter. "Bukti sudah kami pegang dan akan kami simpan beberapa waktu. Jika ingin di ambil benda ini ada di Kantor polisi pusat di kota dengan membawa kertas ini" Kadal Dua merobek kertas itu lalu menyerahkannya pada Ratni. "Ambillah bulan depan. Selamat malam Ayam satu dan Ayam dua silakan kembali ke rumah. Jenazah korban akan dimakamkan di pemakaman umum Desa Lembayung. Atas permintaan keluarga mereka akan dioakan dengan layak. Terima kasih atas kerja samanya dan selamat malam." Kadal Dua menghormat. Dibalas dengan Ratni dan Bagas.

Setelah semua itu berlalu Ratni dan Bagas pergi dari TKP dan menuju mobil. Sumati berjalan beriringan dengan Bagas. Mereka melepas topi maling mereka, kemudian bernafas sangat lega. Dalam diam merasakan malam yang sangat sendu. Sepi di ladang dan mengerikan.

Langkah demi Langkah berlalu, lambat laun Langkah Ratni melambat, melemah, sampai akhirnya ia jatuh terjerembab di tanah berumput yang basah. Bagas yang langsung sigap membangunkan Ratni menepuk-nepuk pipinya, Ratni lemah tak sadarkan diri. Namun, mobil sudah terlihat di dekat pabrik. Bagas menggedong ibu tirinya sampai di mobil dan diletakkan di jok belakang. Mobil dihidupkan lalu pabrik tebu itu ditinggalkan.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang