46. Air mata seorang Ayah

1.6K 89 14
                                    

Seperti biasanya, Ratni memberikan obat tidur pada Suaminya. Efeknya semakin lama semakin kuat, Suaminya tertidur lebih lama dan nyenyak. Ratni mengambil damar untuk penerangan dan ia pergi berjalan menusuri lorong yang gelap. Sampailah ia di pintu putih depan kamar Bagas, pintu itu langsung dibuka. Bagas masih membaca buku dan ada lantera di sebelahnya.

"Sudah selarut ini kau belum tidur?"

"Pikiranku kacau sekali."

"Apa yang membuatmu risau nak? Apakah karena aku sudah berbadan dua?"

"Mungkin itu Bu, dan itu adalah perbuatanku."

Ratni meniup damar itu hingga mati lalu duduk di pangkuan Bagas. Seperti biasa Bagas dengan santai menerimanya dan menopang tubuh Ibunya itu dengan sangat lembut. Aroma tubuh Ratni yang ia rindukan kini merasuk dalam indra penciumannya, dan mendorong bibirnya untuk mendarat di bibir ibu tirinya. Ciuman itu terjadi sangat lembut dan penuh dengan kerinduan yang dibalas Ratni dengan kenikmatan.

"Ayahmu, si bedebah itu tidak tau akan hal ini. Ternyata kita jauh lebih pintar di atas otak dungunya."

"Iya aku paham."

"Bagas... Aku tau ini adalah sebuah kesalahan. Dan ini sangatlah berat, tapi apakah kau tidak menerima kehadiran buah hati kita?"

"Dia adalah darah dagingku. Aku terlalu larut akan kenikmatan bercinta. Kau tidak membiarkanku untuk mencegahnya. Aku tidak paham, dan ini diluar rencanaku. Karena rencanaku hanyalah membuat ayah mencintaimu dan membunuhnya pelan-pelan. Tapi justru yang terjadi lebih dari itu."

"Apa maksudmu Bagas?"

"Apa yang Ibu bayangkan jika ayah tau hubungan kita?"

"Entah kemarahan apa yang akan dia lakukan? Ia pasti amat murka."

"Itulah dendam. Saat ia tak berdaya kita bongkar semua, kita lakukan yang terburuk di hadapannya, kau paham kan seberapa ia benci diriku?"

"Sangat paham anakku. Aku sangat mengerti seberapa ia membencimu dari perkataannya dari luka-luka di punggungmu." Kata Ratni sambil membelai pipi Bagas.

"Seberapa ia mencintaimu setelah buah hati kita ada?"

"Ia tergila-gila, dan mungkin dua desa sudah tau kalau aku mengandung. Ia sangat mencintaiku."

"Saat yang paling dibenci dan yang paling dicintai membunuhnya, yang dibenci membuatnya terkalahkan bagai pecundang, dan yang dicintai membunuhnya dengan rasa terkhianati yang konon rasanya lebih baik mati daripada menyaksikan hal seperti itu."

"Sepertinya itu yang dimaksud Kakak Puspita. Ia pernah bercerita tentang yang dicintai dan yang dibenci. Apakah secara tidak langsung, kitalah yang dipakai sebagai alatnya."

"Hmm... Ibu juga punya dendam pada Ayah. Sejujurnya ia tidak mencintai Ayah, ia tau Ayah adalah penjilat yang bisa meluluhkan hati kakek sehingga ia bisa menikahi Ibu. Aku pernah mendengar juga, Ibu pernah ingin mengugurkanku saat di kandungannya. Almarhum bibi Nurleli pernah bercerita padaku, ia adalah pengasuh Ibu dari kecil."

Ratni menjauh dari Bagas. "Kau tidak pernah bercerita tentang itu padaku."

"Yah, tapi sekarang, apalagi yang harus disembunyikan dari kita."

Ratni memeluk Bagas. "Aku tidak menyangka masuk dalam lingkaran hitam sejauh ini. Sudah terlanjur. Jadi jalani saja."

Bagas menggendong Ratni menuju ranjang. Ia meletakkan Ibu tirinya di kasur empuk itu dengan hati-hati. Kemudian Bagas menyusulnya lalu menyelimuti tubuh Ratni.

Ruangan itu hanya diterangi oleh lentera dari minyak tanah yang kecil. Ditemani angin berdesir di luar rumah Bagas dan Ratni bermesraan dibalik selimut itu. Bagas membuka kaosnya dan mengarahkan Ibu tirinya agar mendudukinya, sesaat kemudian Ratni sudah berada di atas Bagas.

"Oh, maaf kau sedang hamil. Kau tidak boleh menindihku."

Ratni langsung mengangkat tubuhnya dari Bagas. Kemudian ia membenarkan posisinya agar memangku Ratni. Dipandangnya wajah Bagas dalam remang malam yang diterangi pelita itu.

"Dulu, aku tak tau bagaimana rasanya bercinta dengan Almarhum suamiku. Kami sama-sama masih suci. Namun, entah mengapa hasrat itu tergerak dengan sendirinya. Kini aku merasakan hal yang paling menjijikkan yang pernah kulakukan selama hidupku. Tapi sekarang ditukar oleh hal yang paling menyenangkan yang bisa membuatku melayang. Sampai tak terasa aku akhirnya berbadan dua."

Bagas tersenyum menanggapi Ratni.

"Bagas... Aku mohon, jika semua kekayaan sudah jadi milikmu nantinya. Pikirkan anak ini dan juga Wulan. Kau akan menjadi penguasa, kekayaan kelak ada di tanganmu. Kau bisa mengusirku dan Bedebah bajingan ayahmu itu dengan mudah."

"Ah, Ibu..." Kata Bagas pelan. "Aku bisa saja melakukan itu dengan mudah. Jujur itu adalah rencana awalku saat pertama kali aku menjumpaimu. Namun, dari lubuk hatiku yang terdalam aku lebih ingin mendekatimu dan iba karena kau juga adalah korban bajingan tengik itu." Bagas membuka baju Puspita secara perlahan sampai sepasang gunung kembar berujung coklat tua itu terlihat.

"Sampai kapanpun kau tidak boleh pergi, karena itu adalah janjiku padamu. Aku tidak akan mencintai wanita lain selain Wulan, dan tidak akan meniduri wanita lain selain istriku kelak dan juga dirimu. Entah bagaimana nanti jalannya." Bagas meremas kedua gunung kembar Ratni dengan lembut. "Apalagi setelah menikmati tubuh ini. Sungguh tidak terpikirkan bagiku."

"Hmm... Terimakasih nak." Ratni hanya memandang tangan usil Bagas yang sedang memainkan payudaranya. "Apa kau merindukan milikku?"

"Tentu, aku sangat rindu."

"Sayangnya tiga bulan kedepan kita tidak boleh bercinta."

"Wah, sayang sekali, padahal aku sedang sangat ingin." Kini mulut Bagas mengulum ujung gunung kembar itu secara bergiliran. Ratni mengelus kepala Bagas, ia tersentak, saat mulut anak tirinya menyedot, dan lidahnya bermain di puncak gunung itu. Ratni kegelian.

"Sudah nak, jangan membuatku bertambah ingin. Janin kita belum kuat."

"Salah sendiri mengajariku."

"Bagas..." Kata Ratni lirih karena semakin geli.

Kemudian Bagas berhenti dan memandang Ratni. "Dasar Bagas, anak nakal!"

"Ibu juga senang dinakali oleh anak sendiri, bahkan sampai berbadan dua."

Ratni dengan gemas memeluk Bagas. Mendekap kepala anak tirinya diantara gunung kembarnya. "Daripada dibuahi oleh ayahmu, lebih baik dibuahi olehmu. Aku mencintaimu Bagas... Akupun akan rindu bersetubuh seliar kita saat dirumah bukit. Tapi tahan dulu ya, hanya 90 hari."

"Baiklah, aku pasti akan menahannya. Demi anak kita."

Ratni tersenyum kemudian melepas dekapannya. Ia memandang wajah Bagas lalu mencium bibirnya. Kemudian mereka saling berpelukan dengan tubuh setengah telanjang di balik selimut. Terlelap dalam indahnya malam.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang