11. Mereka yang hilang, yang mati dan yang bersalah

2.4K 88 6
                                    


Bagas mengendarai motornya sekitar 20 menit dari Kantor polisi, melintas di siang yang terik dan jalanan yang lengang. Menyalip beberapa bus kota dan melintasi pecinan. Ia akhirnya sampai di tempat yang dituju, di sebuah kedai kopi di meja nomor 5. Bagas duduk, sesuai perintah di secarik kertas itu ia memanggil pelayan lalu memesan kopi.

"Selamat siang ada yang bisa oe bantu Den Bagas, atau seperti biasa?" Kata bapak bermata sipit dan bekulit putih itu.

"Ya seperti biasa. Koh."

"Maaf, dengan tebu atau gula?"

"Oh, Maaf saya lupa menyebutkan Tambak Tebu."

Bapak itu tersenyum lalu mengangguk. "Tunggu sebentar ya." Bapak itu berlalu ke belakang ruangan. Setelah itu Bagas menunggu cukup lama dan ia disuguhi kopi tubruk hitam seperti biasanya.

"Den Bagaasss... Lama tak jumpa Den!" Canda seseorang yang seumuran Bagas.

"Mengagetkan saja kau Wan!" Kata Bagas

"Sudah lama menunggu?"

"Setidaknya kopiku tak sampai dingin."

"Hmm... Menyenangkan. Permisi, saya pesan kopi tubruk juga satu." Kata Ridwan sambil memanggil Kokoh yang melayani Bagas.

"Ah, pak Ridwan, pesanan biasa pak?"

"Benar, pakai tebu."

Kokoh itu mengerti lalu mengangguk dan berlalu. Meja-meja dan kursi di sekitar Bagas dan Ridwan dinaikkan oleh beberapa orang pegawainya. Lalu setelah selesai kopi diantarkan pada Ridwan beserta beberapa kue sumping.

"Baik, mumpung kau di kota. Aku punya kabar buruk. Ini..." Ridwan menyerahkan buku kas yang sangat tebal. Di dalamnya terdapat banyak foto setengah badan hitam putih.

"Apa ini sobat?" Tanya Bagas.

"Bacalah, kau akan kaget." Kata Ridwan sambil menyulut rokoknya. "Rokok!?"

"Tidak terima kasih." Tolak Bagas sopan.

"Hmm... Padahal merokok sambil ngopi adalah hal ternikmat di dunia, masih saja kau alim seperti dulu. Ibu bagaimana kabarnya?"

"Kondisinya jauh lebih baik daripada ia di rumah sakit. Meskipun ia sudah tidak bisa berjalan." Kata Bagas sambil membalik-balik halaman yang penuh dengan catatan kecil itu. Matanya tertuju pada foto-foto yang ada di beberapa halaman berikutnya. Dimana di sana tertulis 'Korban desa Lembayung'. Ia melihat ada 6 orang yang di sana. Lalu beberapa lagi tertulis, orator, penggalang dana, dan lain sebagainya. "Apa maksudnya ini?"

"Informan kami sudah mengumpulkan semuanya Bagas. Kejadian tragis 3 tahun lalu itu kami sudah mengetahuinya. Hanya saja, mohon maaf, Ayahmu berjasa dalam membantu pemerintah."

"APA KAU GILA!?" Tanya Bagas dengan nada tinggi.

"Dengar dulu bung, jangan emosi. Dengar cerita saya. Tenangkan dirimu, jika sudah tenang saya akan bercerita."

Bagas menarik nafasnya. "Baik, silakan..."

"Aku akan samarkan nama, anggap saja A adalah pemimpin gerakan di Kecamatan, dan B adalah ayahmu. Ini adalah informasi yang paling terpercaya. Baik... Mari kita Mulai" Ridwan menghisap rokoknya, lalu menyebulkan asapnya ke udara.

"A adalah pemimpin Gerakan pemberontakan, Ia butuh massa. B adalah kepala desa baru, ia dituntut setia pada negara. A dan B bertemu, B menjanjikan masa. B sudah paham dan mengerti bahwa Gerakan itu cukup sporadic. Ia pun sudah mendapatkan bocoran dari aparat setempat tentang paham kiri itu. Ternyata orang-orang di Desa B ada beberapa yang mengikutinya. Contohnya, almarhum Nurdin, Muklis dan ..."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang