13. Kebahagiaan yang sederhana

2.3K 84 0
                                    

"Saya warga Asli Desa Lembayung, anak tertua. Satu kakak laki-laki Saya dan istrinya masih di Desa Lembayung merawat ibunya. Sedangkan kedua kakak perempuan saya sudah merantau saat tahun 1959, ada yang ke Kota di Barat. Ada yang keluar pulau. Mereka semua sudah menikah. Kami terpaksa bekerja keras karena kami keluarga yang tidak begitu berada. Sekolah saya dari sekolah rakyat sampai tingkat tengah. Begitu lulus, saya menjalin Asmara dengan Suwito, saya lihat ia begitu gigih dalam mencuri perhatian saya. Dua tahun setelah akil balig, saya dilamar. Orang tua saya menyetujuinya dan akhirnya kami menikah. Saya berusia 14 tahun dan Suwito 16 Tahun."

"Wah benar-benar. Mantan Suamimu begitu bergerak cepat memetik bunga Desa."

"Iya, itu pun karena dorongan dari orang tua, Semakin cepat menikah, semakin baik karena Rezeki pasti akan mengalir lebih."

"Yah, dan kulihat kau begitu setia pada Mantan Suamimu, tetapi sekian banyak pemuda Desa mengapa kau jatuh hati pada mendiang Suwito?" Tanya Puspita.

"Ia anak yang pemberani Kak. ia sangat bisa diandalkan." Kata Ratni dengan wajah yang merona merah. "Ah, ia itu tampan sekali saat itu. Ia sering mengajakku pergi untuk berbincang, bersenda gurau dan berjalan-jalan keliling desa. Sampai ayahku menyukainya, dan akhirnya ia datang lalu melamarku."

"Setelah itu bagaimana kehidupanmu?"

"Kehidupan kami berjalan sangat bahagia, meskipun dua kali pernah keguguran. Karena melihat Suwito yang begitu semangat bekerja saya pun turut larut dalam keseharian mereka. Suwito diberi dua petak kebun pala, dan sangat dekat dengan tambak saya. Karena pertimbangan dekatnya ladang itu jadinya ia memilih tinggal di rumah kami yang sangat sederhana. Jujur Kak... Kami sangat bahagia. Ah... apakah kakak masi lapar. Makannya sudah habis. Apakah Kakak ingin lagi?" Kata Ratni saat mengaduk bubur di suapan terakhir.

Puspita mengangkat tangannya. "tidak maaf. Saya tidak ingin lagi."

Ratni melihat ada tiga buku tertumpuk di meja saat ia meletakkan piring. "Bagas itu gemar membaca."

"Ia sangat gemar membaca persis seperti kakeknya. Kalau kau ingin melihat bukunya silakan ke kamarnya di atas, tempat itu sekaligus ruang kerjanya. Dia berpikiran lebih maju daripadaku. Ia Anak yang cerdas."

Ratni mengambil buku kumpulan puisi perjuangan dari Chairil Anwar. "Wah bagus sekali."

"Bacakan untukku Ratni, Membacamu lancar kan? Kau Bisa membaca puisi?"

Ratni tersenyum sambil mengangguk.

"Kemarilah... Duduk dan bacakan padaku."

"Baik kak. Ingin puisi yang mana?"

"Pilihlah, aku ikut pilihanmu."

Cukup lama Ratni membacakan Puspita puisi, mereka berdua menghabiskan siang itu dengan bacaan puisi-puisi indah. Puspita menjelaskan beberapa kalimat yang kurang dimengerti Ratni. Akhirnya secercah harapan baru tumbuh di hatinya. Ibu Ratni adalah seorang yang buta huruf, Ratni tidak pernah mendapatkan pengajaran apapun kecuali memasak dan bekerja. Berbeda dengan Puspita yang menjabarkan secara detail bait-bait dari prosa yang artinya begitu dalam.

Tak lama kemudian. Wulandari datang sambil membawa seragam barunya. Ia hanya beberapa bulan di sekolah lalu ia harus mengikuti ujian akhir dan pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Wulandari terbilang cukup jenius, ia pernah lompat kelas sekali karena anak di Desanya tidak ada yang bisa menyamainya. Dengan keunggulan itu, Puspita dan Bagas sangat yakin bahwa Wulandari harus mendapat Pendidikan yang baik.

Setelah ramai di ruangan itu, Puspita merasa risih. "Sepertinya harus diganti. Maaf, Wulan, bisa tolong panggilkan bibi." Kata Puspita.

"Apa yang diganti Kak?" tanya Ratni.

"Kau tak akan tahan, keluarlah sebentar."

"Ibu mau mengganti celana, ia tidak bisa berjalan ke belakang." Kata Wulan.

"Ah, saya mengerti, Wulan bisa bantu Ibu?" Tanya Ratni.

"Saya biasa membantu bibi atau mas Bagas melakukan itu." Kata Wulan.

"Baiklah kalau begitu sekarang kau yang membantu ibu." Ratni membuka selimut Puspita.

"Ratni, sudalah, ini bukan tanggungjawabmu. Maaf, aku merepotkanmu."

"Sudalah kak, beritau apa yang harus kulakukan, akan kubersihkan semuanya."

Puspita meneteskan air mata. Wulan dan Ibunya melakukan semuanya dengan telaten tanpa rasa jijik sama sekali. Mereka mgengganti kain kotor, dan mencuci semua bekas itu dengan baik. Tak lama kemudian saat semua sudah bersih mereka mebaringkan tubuh Puspita. Ratni duduk di samping Wulandari sambil mengusap peluh yang menetes di dahinya.

"Karma itu ada, bahkan mereka yang baru kukenal semuanya bersimpati kepadaku." Kata Puspita lirih.

"Sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk merawat mereka yang sakit, apalagi itu adalah keluarga sendiri." Kata Ratni.

"Terima kasih Ratni."

"Sama-sama kak." Ratni melihat kursi roda yang ada di ujung ruangan. "Kapan kakak terakhir jalan-jalan."

"Kira-kira sebulan yang lalu. Aku hanya tidak mau merepotkan orang-orang. Mereka harus mengangkatku jika ingin menaiki kursi roda."

Ratni tersenyum pada Wulan. "Wulan bisa bantu ibu?" Tanya Ratni yang disambut dengan anggukan semangat dari Wulan.

***

"Ahhh... Sudah lama rasanya tidak merasakan udara luar. Sayang sekali kakiku sudah sangat lemah." Kata Puspita saat duduk di kursi roda, berjalan menusuri selasar dekat taman belakang rumah. "Ratni berhenti sebentar." Puspita memandang taman bunga yang ada di sana. "Semua bunga itu Bagas yang menanam atas perintahku. Mereka cantik sekali sekarang. Senangnya melihat sesuatu yang indah sebelum pergi."

"Bu, jangan bilang pergi terus Bu. Saya tidak mau ditinggal Ibu." Sahut Wulan dari samping Puspita.

Puspita mengelus kepala Wulan. "Makanya belajar yang rajin. Buat Ibu bangga."

"Kakak dan Wulan sangat dekat, iri rasanya." Sahut Ratni yang sedang menggenggam dorongan kursi Roda.

Puspita dan Wulan Tertawa. "Ibu sering memarahiku, sedangkan Ibu Bagas selalu memanjakanku."

"Dasar anak tak tau di untung." Jawab Ratni.

"Heh, sudah... Kalian harus saling menyayangi." Kata Puspita. "Wulan, bisa tolong Ibu, di ruangan itu." Puspita menunjuk ruang tengah. "Ada kotak kayu besar berukiran kuda, bolehkan minta tolong untuk mengambilkannya?"

Wulan mengangguk lalu pergi, sementara itu Ratni mendorong kursi roda Puspita ke tempat yang teduh dibawah pohon Tabebuya. Wulan dengan sigap membawa kotak kayu yang cukup besar dari ruang tengah. Beberapa pegawai membawa kursi ke taman itu dan mempersilakan Wulan dan Ratni duduk.

Kotak itu dibuka isinya adalah alat-alat menjahit dan merajut. Ada kain kristik dan benang-benang berwarna-warni. "Aku suka sekali merajut. Kain kristik istana yang kalu lihat di ruangan depan, itu karyaku. Aku merajut syall, merajut taplak meja jika tidak sibuk. Kalian bisa merajut?"

Wulandari dan Ratni menggelengkan kepala.

"Mataku sudah tidak tajam lagi. Kadang kalau konsetrasi terlalu lama suka pusing. Ambilah benang, akan kuajari apa kalian mau?"

Dengan semangat Wulandari dan Ratni mengangguk. Mereka bertiga tertawa dan bersenda gurau. Bi Minah dan Bi Ani diperintahakn juga oleh Puspita untuk ikut belajar. Dengan gembira mereka mencoba merajut.

Puspita sangat senang, dibawah pohon melihat mereka dengan santai merajut, menikmati udara hangat matahari dan teduhnya naungan pohon Tabebuya yang berjejer rapi di samping Villa Groene Heuvel. Angin menghembus menghatarkan ketenangan, dari suara tawa yang ceria, Pusptia bersyukur bahwa hidupnya baik meskipun pernikahannya separuh gagal.

Diwaktu yang sempititu, Puspita hanya berjuang untuk bersyukur, karena hidup seutuhnya di tanganSang Pencipta.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang