28. Air terjun cinta

3.6K 120 5
                                    

"Apa? Nenek berpikir seperti itu?" Kata Bagas saat berjalan bersisian dengan Ratni di kuburan.

"Benar." Sahut Ratni yang sedang membawa tempat bunga yang dibuat dari daun kelapa yang dianyam.

"Lalu... Ayah?"

"Apa yang dipikirkan si tua cabul itu pada istri mudanya? Kau pasti tau, kubiarkan ia bermain di bekas kamarku. Karena aku malas ngobrol berlama-lama dengannya. Dipuaskan lalu pergi, kurelakan diriku menjadi seperti wanita jalang." Kata Ratni sambil mengusap rambutnya.

Bagas memegang pundak ibunya. "Maaf Bu, aku berjanji akan menyelesaikan ini lebih cepat."

"Aku tidak masalah, asalkan kau masih mau melakukan apa yang kita lakukan malam itu di lapangan alang-alang. Karena itu aku bertahan."

Bagas memalingkan mukanya. Kemudian ia menunduk. "Maafkan aku Bu. Malam itu aku..."

"Shh... Sudalah... aku menikmatinya jauh daripada perlakuan ayahmu pada tubuhku." Kata Ratni sambil menutup mulut Bagas dengan jarinya. Ia tersenyum sangat manis, dan senyum cantik itulah yang cukup menggetarkan hati Bagas.

Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di gundukan tanah tempat dimana banyak batu nisan tanpa nama dipajang, di sana hanya tertulis, 'Untuk mereka yang sudah berjuang demi Negri'. Tanah masih basah sehabis digali dan taburan bunga sudah bertebaran. Bagas dan Ratni berdoa lalu menaburkan bunga di makam itu.

"Apapun yang terjadi, untuk Ayah, untuk Mas Suwito. Mereka yang jahat akan mendapatkan ganjarannya. Aku tidak ingin Suamiku Kuncoro berengsek itu mati, karena kematian terlalu mudah." Kata Ratni getir. "Aku ingin ia menderita sepanjang hidupnya." Ratni menangis ia meremas tanah dengan kuat. Bagas ikut berjongkok di sampingnya sambil mengusap-usap pundak Ibu tirinya itu.

"Untuk kebahagiaan yang sudah direngut oleh Ayahku. Aku akan membantumu." Kata Bagas pelan. Kemudian ia memeluk ibu tirinya agar bisa menangis puas di dadanya.

Matahari sudah tidak begitu terik lagi, pohon-pohon kamboja cukup membantu untuk meneduhkan mereka berdua. Sejenak mereka memandang makam itu kemudian beranjak pergi. Di parit kecil Ratni mencuci tangannya yang penuh dengan tanah, kemudian mereka berjalan menusuri setapak yang dipenuhi semak.

"Ibu, kau sangat bodoh dalam memberi alasan. Jangankan Ayah, akupun berfikir mengapa aku harus membeli gulali?" canda Bagas.

Ratni tertawa kecil. "Bagas, apa yang kau lakukan saat kau baru sadar dan bangun dari tidur, lalu ditiduri, dan langsung membuat alasan? Aku bukan penipu hebat karena diriku terbiasa berkata jujur dari dulu."

"Iya saya sangat paham akan hal itu. Tapi haruskan Gulali?"

"Lalu kau mau apa? Coklat hanya ada dikota."

"Hmm... Yah. Aku mengerti." Sahut Bagas. "Tapi aku dengar ada air terjun indah dekat sini." Kata Bagas sambil memandang keliling.

"Grojogan Sedayu, maksudmu?"

"Iya betul."

"Kau belum pernah ke sana?"

Bagas menggeleng.

"Baiklah, ayo kita kesana, biarkan Mobil parkir di pemakaman dari sini hanya 5 menit dengan berjalan kaki."

"Baik, untunglah tadi aku makan banyak. Gudangan buatan nenek enak sekali."

"Ibu, memang sangat pandai membuat olahan sayuran, aku-pun sampai tak percaya kau tambah tiga kali. Kau benar-benar suka pare dan daun papaya"

"Iya, aku suka daun papaya, tapi lebih suka bunganya. Bi Inten pintar membuatnya, aku suka yang tidak diperas agar pahitnya masih ada dan makan dengan sambal yang sangat pedas."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang