Cahaya matahari terik menembus dedaunan hutan. Menerpa tubuh seorang pria yang perkasa. Keringat menetes di dadanya yang bidang, guratan-guratan otot tangannya mengencang saat mengayun kapak. Hanya dua tebasan kayu tebal itu terbelah. Pria itu menarik nafas dalam-dalam setelah menyelesakan pekerjaannya. Kayu yang berantakan itu dikumpulkannya lalu ia duduk sejenak. Memandang pohon jati yang tinggi seraya disapa oleh orchestra alam nan alami, saat Kicauan burung menjadi melodi, Ringkikan serangga menjadi Ritme dan gemerisik pepohonan menjadi perkusi. Semua menyatu dan menyeruak masuk dalam pendengaran dan memberikan ketenangan bagi jiwa yang cukup lelah.
Sambil menunggu Pria itu membuat api unggun kecil, kemudian seorang paruh baya mendekatinya dengan menenteng burung Ruak-ruak yang tadi ia tangkap dengan jebakan bamboo. Burung itu dicabuti bulu-bulunya dan dibersihkan. Jeroannya langsung dibakar di atas api yang menyala-nyala. Sambil ditambah lagi kayu agar Api makin besar. Hanya dibubuhi garam, merica dan kecap, burun itu ditancap di bamboo lalu diletakkan di sisi api.
"Sudah lama saya tidak menikmati alam liar ini. Terima kasih sudah menemani saya pak Wo." Sahut pria muda seraya meneguk air dari tempat minum militer.
"Iya Den Bagas, saya lihat Den Bagas sibuk di pabrik, di Gudang dan menjaga ibu." Balas Pak Sujiwo yang akrab dipanggil pak Wo. "Tapi tadi daun sama akar-akarnya sudah dapet Den?"
"Sudah pak, lumayan lah buat persediaan satu bulan. Nanti ini dijemur."
"Semoga Ibu cepat sembuh ya Den, sudah lama sekali Ibu sakit. Saya itu sedih sekali melihat Ibu, sudah sakit begitu malah tidak dirawat oleh Bapak, justru malah ditinggal kawin lagi."
"Ibu tidak ditinggal kawin lagi pak. Ibu sudah mengijinkan, bahkan menyarankan agar Bapak kawin lagi."
"Tapi istri mudanya kalau tidak salah sebaya dengan umur den Bagas."
"Soal itu saya kurang tau ya pak. Tapi yang jelas saya tau dia yang tercantik di desa Lembayung. Belum pernah saya melihat wanita secantik dia."
"Yah pantas saja Bapak langsung kesemsem. Paling tidak Bapak tidak jual anak-anak Desa lagi ke kota. Kasihan mereka, karena ekonomi terpaksa mengikuti jalan itu."
"Tapi ya tidak begitu juga pak. Harusnya mereka itu dididik." Kata Bagas sambil membalik-balikkan burung Ruak-ruak yang sudah mencoklat. "Selama ini maafkan perlakuan ayah saya pak. Kemarin saya dengar bapak dimarahi karena menjatuhkan sekarung pala."
"Itu salah saya Den sudalah."
"Salah dimana pak? Tubuh itu ada batasnya, bapak bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam." Kata Bagas sambil meniup-niup Burung Ruak-ruak panggangnya.
"Namanya mencari sesuap Nasi Den. Saya si orang bodoh Den, nggak sekolah. Beda sama pak Kuncoro, orang pintar."
"Justru seharusnya orang pintar itu berbuat baik pada orang yang tidak pintar. Itu namanya pemaksaan pak. Kita sudah tidak hidup di jaman Jepang. Romusha sudah berakhir pak."
"Kalau saja saya punya pilihan Den. Istri anak harus makan. Tapi Den, maaf ya. Den itu mirip Ibu, dulu waktu masih sehat ibu selalu senyum sama semua orang, meskipun ia keturunan kompeni, ia tidak menindas."
"Iya pak, saya banyak dengar cerita. Cuman ya dari kecil saya kenal bapak saya seperti itu. Padahal mendiang kakek dan nenek saya bukan orang pemaksa seperti itu. Maka dari itu saya sangat berusaha bagaimana caranya agar bapak tidak ikut campur urusan pekerjaan pabrik kami. Manusia itu cepat kalap kalau diberi kekuasaan."
"Tapi Den Bagas tidak begitu. Meskipun sudah diberikan kekuasaan atas pabrik dan kebun. Den Bagas baik pada kami. Sayang saja Den Bagas bukan lurah yang punya kuasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)
RomanceStory selesai ditayangkan di : https://karyakarsa.com/mrsundaynight/dendam-anak-tiri Harga Full Story Rp.21.900 #3 drama (20-Jul-22) Tragedi selalu menyisakan dendam. Karma selalu memainkan perannya di sela-sela waktu yang indah. Ia datang, ia per...