26. Alang-alang yang berbisik

2.8K 104 8
                                    

"Dimana ini Bagas?" Ratni sudah siuman, ia merasa kepalanya agak pusing. Ditambah lagi jalanan desa yang masih berbatu dan tak beraspal.

"Di Batas desa Bu."

"Oh, bolehkan berhenti sebentar, aku ingin minum."

Bagas menepi saat itu juga Ibunya mengambil air di termos lalu menegaknya pelan. Setelah cukup lega ia bernafas panjang. Lalu merunduk. "Maaf aku merepotkanmu lagi."

"Tidak apa-apa Bu. Penyelidikan sudah selesai."

Ratni memandang Jendela mobil "Aku ingin minta tolong padamu. Setelah smuanya selesai ambillah batu merah delima itu."

"Baik Bu."

"Kapan hari Ibumu bercerita, jika orang akan sangat dendam bila yang diambilnya adalah kesayangan dan kesayangan itu diambil oleh orang yang dibencinya setengah mati. Ia berkata dalam posisi ini antara kau dan aku. Ayahmu membencimu, namun ia mencintaiku."

Bagas tersenyum santai. "Ia menceritakan itu padamu, berarti memang benar, hanya kita yang bisa menyiksanya."

"Benar sekali, Tetapi setelah kejadian ini, biarlah aku berfikir jernih"

"Ibu ingin kuantarkan ke rumah bukit lagi?"

"Tidak Nak, Antarkan aku ke Lembayung rumah orangtua dan keluargaku. Katakan pada Ayahmu, aku berangkat pagi-pagi benar dan kau yang mengantarnya. Ia boleh menyusulku jika mau."

"Lalu apa yang harus kukatakan, mengapa kau pulang ke rumah orangtuamu?"

"Aku tidak tau Bagas, apakah kau punya alasan? Aku sedang tidak bisa berfikir."

Bagas berfikir sejenak. "Bagaimana jika semalam kau mimpi kurang enak dan tiba-tiba ingin menjenguk Ibumu. Lalu kau minta disusul oleh Ayah."

"Baik, pikiran yang bagus. Terima kasih Bagas."

Bagas mengangguk lalu tersenyum. Ia berbalik arah. Mereka menusuri jalan gelap itu ke Desa Lembayung yang tidak begitu jauh letaknya dari jalan itu.

Saat melewati lapangan alang-alang Ratni minta berhenti. Kemudian Bagas menepi di jalan itu. Ratni turun dan berjalan ke tengah lapangan. Dari jauh Bagas hanya memperhatikan Ibunya yang memandang Bintang yang bertaburan indah di langit. Badan Ratni bergetar hebat sampai ia berlutut. Bagas hanya mendiamkannya sejenak agar ibunya puas menangis. Setelah beberapa saat Bagas memberanikan diri untuk menghampirinya.

Bagas duduk di sebelah Ibunya, kemudian memandang bintang yang bertaburan. Lapangan Alang-alang mempunyai rumput yang setinggi lutut, beberapa rumput sudah diinjak oleh Bagas dan Ratni. Bagas menarik nafas panjang saat tangis ibu Tirinya berhenti.

"Tempat ini pasti punya kenangan manis untuk Ibu."

"Benar, pertama kali bertemu Almarhum Suwito di sini. Ia sedang bermain layangan, dan di depan sana ada pedagang gulali yang sudah tua. Tapi dulu kami sering bersembuyi di balik bukit sana kalau ada tentara lewat. Seharusnya jaman sudah damai. Tapi hatiku belum damai. Asa ku benar-benar pupus. Aku hanya tinggal raga."

"Keadaanmu masih lebih beruntung dari Ibuku. Kau masih sehat. Masih kuat. Ibu harus bersyukur masih sehat dan baik. Sekalipun kekayaannya berlimpah, Ibuku tetap tidak akan selamat."

Angin berhembus dengan sangat lembut menerpa tubuh mereka, alang-alang pun berbisik dihempas angin. Bulu kuduk bergidik, karena dinginnya cukup menusuk tulang. Beberapa serangga bernyanyi nyaring menanggapi suara alam yang seolah berbicara padanya.

"Aku tau hidup tidak sempurna Bagas, tapi bagiku, bisa bersama suami yang kucintai sampai akhir hayat adalah sebuah kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apapun."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang