31. Gadis Kota

2.6K 101 17
                                    

Rumah sakit sudah menjadi seperti rumah kedua Bagas. Karena itu ia sangat akrab dengan suasan dan aroma alcohol serta obat yang bercampur di udara. Sambil menunggu biasanya, Bagas membaca buku, membawa beberapa laporan dan buku kas untuk bekerja menggantikan Ibunya yang dulu mengurus admistrasi. Tapi kini, ia sudah bisa mempunyai karyawan dan tenaga ahli dalam hal itu karena sudah bekerja sama dengan pabrik kopi yang sangat besar dan beberapa supplier lainnya. Namun, Bagas masih harus mengecek dan terus mengawasi dengan sangat jeli, karena ia tidak mau seperti ayahnya Kuncoro, yang tidak teliti dan karena salah perhitungan beberapa karyawan tertunda gajinya.

Bagas kini tidak sendiri, Ibu tirinya setia menemaninya. Semenjak kejadian di Air terjun Sedayu, Bagas dan Ratni sering curi-curi kesempatan paling tidak untuk sekedar bercumbu mesra. Ratni paham anak yang masih perjaka itu harus diajari pelan-pelan.

Siang dan sore ruangan rumah sakit itu masih sama cerahnya. Dukungan lampu-lampu listrik yang cukup terang membawa suasana yang nyaman. Bagas, dengan santainya duduk menghadap taman dan Ratni bersandar manja pada bahunya.

"Aku merasa seperti muda lagi Bagas..." kata Ratni sambil menggenggam erat tangan kanan Bagas.

"Maret kemarin Ibu baru berulang tahun ke 27 Bukan? Tua apanya Bu?"

"Aku tidak mau masa-masa hidupku berakhir seperti ini. Hanya dirimu yang membuatku tenang menghadapi segalanya. Sekalipun aku tau hubungan kita sangatlah terlarang."

"Akupun tidak bisa menolaknya Bu, kau sangat cantik. Aku benar-benar merasa bersalah pada Wulan."

"Bagas, akupun begitu. Apa yang sebaiknya kita harus katakan padanya?"

"Pikir saja itu nanti Bu... Aku melakukan ini juga karena tidak mau ibu terus bersedih dan gusar. Ibu butuh pelampiasan. Hanya saja kenapa aku yang harus jadi korban?"

"Kenapa memangnya? Apa kau tidak senang? Apa kau merasa keberatan sekarang?"

Bagas tertawa. "Tidak, aku hanya tidak menyangka saja. Jujur akupun senang melakukannya tapi, ada rasa bersalah dalam diriku. Itu saja. Pria mana yang tidak bisa menolak kecantikanmu Bu?"

Ratni tersipu lalu menggenggam tangan Bagas lebih kuat. "Wanita mana yang bisa tahan akan ketampananmu Bagas?" Ratni terdiam dan berfikir "Ah, akupun jadi merasa bersalah pada kak Puspita, ingin mengantarkannya ke kota hanya karena ingin berdua denganmu. Nista sekali diriku."

"Jangan begitu Bu, keadaanlah yang membuat kita menjadi seperti ini. Ibu harus diopname selama 3 hari, akupun malas untuk pulang kerumah."

"Apa kita sewa penginapan dan kita bisa..." Kata Ratni bersemangat.

Bagas tersenyum menggeleng. "Aku masih belum bisa melakukan itu Bu. Hal itu terlalu jauh. Meskipun beberapa kali aku memimpikan itu denganmu."

"Sungguh!? Kau memimpikanku? Padahal, aku bisa membuatnya menjadi kenyataan bila kau mau."

Bagas Mengangguk. "Aku paham semua lekuk tubuhmu, rasa bibir dan aroma tubuh ibu, dan itu terbawa mimpi, hanya saja aku sangat malas saat bangun air maniku berceceran dan harus mencuci."

Ratni tertawa. "Bagas, aku janji, kau bisa mendapatkan lebih dari sekedar bermimpi. Lihat," Ratni mengarahkan tangan Bagas pada pipinya. "Aku nyata. Bukan khayalan."

"Aku tau, karena itu aku takut sampai pada hal-hal yang lebih jauh."

"Akupun melakukan hal yang sama Bagas."

"Ibu memimpikan aku?"

Ratni menggeleng. "Kau ingat saat di rumah bukit, saat aku saksikan tubuh dan burung rajawalimu.?"

"Iya, aku ingat, sampai kau terkencing-kencing dan gemetar. Kau sering seperti itu juga, pada saat kita mandi, saat aku memainkan tanganku."

Ratni langsung tertawa dan menepuk bahu Bagas dengan keras, wajahnya langsung merah padam karena malu. "Itu bukan kencing Bagas! Jika seorang wanita mencapai puncak kenikmatan mereka akan seperti itu. Dasar Perjaka!"

Bagas tertawa "Lalu mengapa burung rajawali Bu?"

"Karena sangat gagah dan perkasa, aku sudah melihat tiga burung Bagas, yang pertama, milik Almarhum Suwito, meskipun itu hanya burung Perkutut, tapi aku tetap bisa dibuatnya melayang."

"Hmm... Ibu sudah sangat berpengalaman, ibu sudah melihat burungku, dan mantan suami ibu. Lalu..." Bagas berfikir sejenak. "Bagaimana dengan burung ayah?"

"Hah... " Ratni melambaikan tangannya tanda menyepelekan. "Itu hanya burung pipit. Kecil, dan Cuma geli-geli di ujung."

Bagas tertawa terbahak-bahak. Ratni pun ikut terbawa suasana itu. Ia senang rasanya bisa tertawa selepas itu dibalik hari-harinya yang kelam.

"Sekalipun tetap bisa membuatku puas, tapi aku berpura-pura saja tidak sudi aku dipuaskan dengan pria bau dan buncit itu." Kata Ratni sambil tertawa.

"Aku pikir ayah adalah orang yang bernafsu besar. Ternyata ia selemah itu?"

"Awalnya saja yang bernafsu besar, seolah-olah ingin meniduri dan memuaskan diriku. Tapi baru kujepit burung kecil itu, kugoyang beberapa menit langsung mengucur air maninya. Mana airmaninya hanya berupa tetes-tetesan. Bagaimana mau punya anak. Syukurlah aku berbohong padanya."

"Hmm... Jadi begitu, wah belajar dengan ibu banyak ilmunya."

"Itu hanya teori Bagas, kau boleh langsung mempraktekkannya denganku jika kau mau." Goda Ratni.

"Ah, Ibu." Kata Bagas sambil memalingkan wajahnya.

"Dasar perjaka! Baru digoda sedikit saja wajahmu sudah sangat merah." Ratni tertawa.

***

Karmila datang menusuri Lorong rumah sakit yang cukup ramai sore itu. Banyak perawat berlalu-lalang membawa infus dan juga mendorong pasien. Di tengah kekalutan itu, disempatkannya bertanya pada seorang perawat yang sedang membawa buku. Perawat itu menunjukkan arah utara lalu Karmila berjalan dengan cepat ke sana. Akhirnya yang ia harapkan ada, ia melihat Bagas sedang berdiri di depan jendela memandang ke sebuah kamar.

"Bagas!" Teriak Karmila.

Bagas menoleh dan sangat kaget serta heran. "Kenapa kau di sini?"

Karmila mendekat lalu memukul pelan tangan Bagas. "Kau yang mengirimiku telegram minggu lalu. Kalau kau akan mengantarkan Ibu ke kota, dan Ibumu diopname."

"Iya, aku hanya membalas telegrammu. Kau ingin menjenguknya sebelum ke Ibukota bukan?" Kata Bagas agak bingung.

Karmila mengangguk "Sekarang dimana Ibumu?" Tanya Karmila sambil melihat jendela. Ia melihat Puspita terbaring lemah dan dipenuhi selang. "Astaga... apakah Ibumu selalu seperti itu?"

"Yah, benar, setiap bulan harus cuci darah."

"Apakah aku boleh masuk?"

"Lagi 10 menit, karena Obatnya sedang bekerja. Mari, kita duduk di bangku itu saja." Kemudian Karmila dan Bagas duduk di bangku sebrang kamar yang menghadap taman rumah sakit. "Wah, untuk apa bunga-bunga itu?"

"Ini untuk Ibumu. Maaf aku tidak bisa membawa sesuatu yang lebih dari ini."

"Wah, terima kasih banyak" Kata Bagas sambil menerima bunga itu.

"Ayahku minta maaf padamu, ia bilang katanya ia cukup keterlaluan saat menjamumu ke rumah."

"Ah tidak apa-apa. Wajar. Ia sayang pada anak gadisnya. Kau tidak jadi berangkat ke Ibu kota?"

Karmila menggeleng. "Aku sudah ke sana, aku pun bertemu dengan calon suamiku. Hanya saja..." Karmila terdiam sejenak. "Dari hatiku yang terdalam aku lebih mencintaimu Bagas."

Bagas tertegun mendengar kata-kata Karmila yang terdengar sangat tulus itu. "Lalu? Apakah kau tidak jadi melamarnya?"

Karmila mengangguk. "Jadi, aku akan menikahinya meskipun tidak mencintainya. Aku sayang ayahku dan juga Ibuku aku ingin mereka bahagia. Aku meminta syarat, agar sebelum menikahinya aku bisa bertemu denganmu dan Ibumu. Maka dari itu aku bersurat padamu beberapa minggu yang lalu."

"Ah, begitu rupanya kata Bagas tenang."

"Wah, ternyata kalian akrab sekali." Tiba-tiba ada suara dari belakangnya.

Karmila dan Bagas langsung kaget dan menoleh ke belakang. Ratni sudah berdiri di dekat mereka. "Oh, Ibu, perkenalkan ini Karmila."

Karmila langsung berdiri dan menyalami Ratni "Saya Karmila Bu, Pacar Bagas."

Ratni langsung memandang Bagas yang sedang kikuk dengan pandangan ketus dan senyum sinis. "Laki-laki dimanapun adalah buaya." Katanya pelan.

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang