17. Derita Malam

3.8K 95 0
                                    

Bagas terdiam sejenak memperhatikan ekspresi Ratni yang mencoba untuk tabah. "Tambak Tebu. Tempat dimana beberapa orang-orang tak bersalah diesekusi. Sayang kasus akan itu ditutup."

Ratni terbelalak. "Ditutup? Apa maksudnya? Dimana suamiku, ayaku?"

"Bu, tenanglah, dari cerita yang kudapatkan. Sudah bisa dipastikan mereka sudah almarhum."

Ratni menutup mulutnya dan menggelengkan kepalanya.

"Jadi pembunuh suamiku yang tidak bersalah itu tidak dituntut apa-apa?"

"Ia sudah dianggap pahlawan negara. Lagipula bukti tidak cukup, dan hanya beberapa orang yang bisa menjadi saksi akan itu."

"Bedebah!" Kata Ratni pelan namun tegas.

"Saya sedang mengumpulkan informasi, saat purnama ke 18, kami akan mencari jenazah para korban untuk dimasukkan ke dalam catatan sejarah kelam Nusantara. Operasi ini bukan bertujuan untuk menggulingkan kembali Pemeritah, tetapi hanya untuk memastikan, mana korban dan mana pelaku. Karena ada pihak keluarga yang mencari kebenaran. Termasuk Ibu."

Wajah Ratni merah, tangannya terkepal, matanya menjadi sangat merah, bibirnya bergetar. Bagas mengelus pundak Ratni. "ak-akan ak- ak aku Ra-cunn ni si bed-de-de-bbah ca-bul it-itu." Kata Ratni, dengan gigi yang bergemeretak.

"Bu, bu... Sabar..." Bagas melihat ke kiri dan kanan, karena takut ada yang mendengar Ibu tirinya sangat marah. "Tarik nafas, lalu keluarkan, minumlah ini." Kata Bagas sambil menyerahkan teh tawarnya.

Ratni mengikuti apa yang dikatakan Bagas. Diambilnya gelas itu dengan tangan yang bergetar hebat. "Sudah terlalu lama aku bersabar Bagas anakku..." Kata Ratni lirih. Lalu minum.

"Bu, akupun dendam dengan ayahku. Kau baru hidup bersamanya Beberapa minggu, aku 24 tahun. Bu."

"Kalau kau membencinya, Kenapa kau tidak kau habisi saja ayahmu?"

Bagas tertunduk, ia tersenyum getir. "Karena aku sangat tidak ingin."

"Kau sayang pada ayahmu itu? Menurutku, menghormatinya pun kau tak layak. Kau lihat saja, sifatmu dan sifatnya sungguh berbeda. Bagai langit dan bumi! Meskipun darah dagingmu dari situ. Kau terlalu baik, terlalu peduli dan terlalu rela berkorban."

"Kematian itu cepat, tidak terasa dan mudah Bu, aku ingin melihatnya menderita. Ibarat jika membunuh, aku tak mau menggunakan pisau tajam lalu menusuk jantung. Aku ingin mengirisnya pelan-pelan dengan silet yang kecil, dan karena perihnya ia akan mengakhiri hidupnya sendiri." Kata Bagas tenang. "Aku ingin Menyusun rencana. Karena jika kita terang-terangan membunuhnya maka kita bisa dikatakan sisa-sisa pemberontak, karena dendam pada pahlawan."

"Baik, kau lebih tau medan pertempuran. Apa rencanamu?"

Bagas tersenyum "Yang ada dalam bayanganku hanyalah buat ia tergila-gila padamu. Sampai ia tidak bisa lepas darimu." Bagas kembali bergeming dan berfikir.

"Lalu apa selanjutnya?"

"Akupun belum tau, yang jelas aku tidak akan membunuhnya secara terang-terangan karena alasan dendam, nanti akan panjang urusan hukumnya. Ijinkan kuberfikir apa yang bisa kulakukan untuk mengakhiri penderitaan rakyat 4 desa. Sekarang aku masih berfokus pada Ibu." Kata Bagas kalem. "Percayalah padaku Bu. Berpura-puralah saat bersamanya." Bagas menggenggam tangan Ratni.

Genggaman hangat tangan Bagas itu membuat Ratni cukup tenang. Ditatapnya mata pria tampan itu dalam-dalam. Nafas Ratni menjadi teratur setelah emosinya membuncah, Genggaman tangan Bagas menenangkan Jiwanya. Tangan Ratni justru membalas genggaman tangan Bagas, dan saat saling bertatapan itulah ia mereka tersenyum. "Tolong Ibu nak."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang