9. Restu ibu tiri

3.2K 98 2
                                    

Sejenak pagi itu angin berhembus, menghempas lembut daun-daun kering dan pohon-pohon cemara tinggi yang ditanam di jalan setapak halaman rumah. Wajah Ratni yang cantik itu menatap wajah tampan Bagas penuh keyakinan. Mereka diam sejenak dalam asa yang menelisik relung hati masing-masing.

"Aku sudah tidak punya harapan lagi dalam hidup ini anakku. Harapanku sudah musnah. Wulan tidak akan jadi seperti diriku, jika ia menikahi jejaka tampan, cerdas dan baik seperti dirimu. Aku sangat yakin kau tidak sama dengan ayahmu. Jika memang itu terjadi. Sayangilah anak semata wayangku. Jangan khianati hatinya." Air mata Ratni menetes.

"Selama nafas itu ada, harapan tak akan pernah putus. Jika itu permintaan Ibu. Saya akan laksanakan. Namun, syarat tetap syarat. Wulan harus selesai sekolah. Ia harus lulus dan menjadi anak yang pintar. Sudah tidak jamannya lagi wanita diam dalam sangkar madu."

Selalu meneduhkan hati, Ratni nyaris tidak percaya bahwa pria seperti Bagas tidak mempunyai seorang kekasih. Tetapi pikiran itu ia tepis. "Terimakasih Nak, Saya sangat yakin dengan dirimu. Banyak rumor yang tersebar di kalangan para pembantu di sini. Ibarat buah jatuh dari pohon, kau adalah buah yang jatuh terlalu jauh dari pohon keburukan ayahmu."

"Tubuh saya sebagian berasal dari sana. Tidak dengan hati saya." Untuk pertama kalinya, Bagas tersenyum pada Ibu tirinya. Senyum manis yang menampakkan dua lesung pipi kiri dan kanan itu, membuat wanita manapun pasti bergetar hatinya. Termasuk Ratni, dan ia mulai berpikir bahwa anaknya Wulan adalah gadis yang paling beruntung di Dunia. "Ibu ingin oleh-oleh apa? Apakah sama dengan Wulan? Coklat Belanda?"

"Apapun itu Nak. Ibu terima dengan senang hati." Kemudian Bagas berjalan dan disusul oleh Ratni.

Sesaat mereka berjalan mereka sampai di Garasi. Disambut oleh Pak Wo yang sedang mengelap motor Royal Enfield tahun 1951. Dengan sangat telaten Pak Wo membersihkan motor kesayangan Bagas. Dari sela-sela mesin hingga detail terkecil di sudut Velg jerujinya.

"Selamat Pagi Nyi." Kata Pak Wo.

"Pagi Pak Wo. Wah rajin sekali ya." Jawab Ratni kalem.

"Kalau Den Bagas yang bertitah, jam 3 pagi pun saya laksanakan Nyi, pamali melawan perintah tuan yang baik."

"Berlebihan sekali Pak Wo." Kata bagas dengan senyum. "Wah, Kinclong seperti baru. Luar biasa."

"Den Bagasnya guanteng, motornya harus ganteng juga! Sudah Den bisa diperiksa lagi kalau ada yang kurang bersih." Kata pak Wo.

"Ini sudah bersih sekali Pak." Bagas mengambil helm tentara lalu menghidupkan motornya. Ratni sampai kaget dengan suara menggelegar motor itu. "Ibu pernah naik motor?"

Ratni menggeleng dan tersenyum. "Naik mobil saja baru kemarin. Tapi saya pusing di dalam mobil goyang-goyang."

"Iya, memang begitu, lagipula jalannya kurang bagus. Makanya mobil hanya dipanasi jarang dibawa turun bukit. Hanya kalau ada tamu penting saja." Kata Bagas kemudian mematikan motornya.

"Dulu saya hanya naik sepeda, kalau sedang pacaran dengan mas Suwito ia memboncengi saya dengan sepeda ke lembah alang-alang. Disana banyak anak bermain layangan dan pedagang gulali." Kenang Ratni.

"Ah, maaf atas kejadian itu." Kata Bagas sambil tertunduk. "Itulah yang membuat saya semakin benci dengan Ayah."

Ratni memalingkan muka. "Aku sempat mengingat sesuatu pada pembicaraan tadi subuh. Waktu itu Suwito dan Ayah ikut menyaksikan pentas ronggeng di Desa. Mereka tidak tahu apa-apa dan mereka hanya petani biasa."

"Ibu... Sebenarnya saya enggan bercerita." Bagas menoleh kiri dan kanan. "Seperti yang kita bicarakan tadi pagi. Kebanyakan dari mereka terjebak bukan karena ideologi pemberontakan. Beberapa dari mereka bahkan buta huruf. Saya mendengar, beberapa orang tidak bersalah dibunuh hanya karena kepentingan pribadi dan dasar kebencian." Kata Bagas tenang seraya membenarkan posisi duduknya. "Kita bisa bicara panjang tentang hal ini. Saya bukan membenarkan Gerakan pemberontakan itu. Saya hanya simpati kepada beberapa para korbannya yang sebenarnya tidak tau apa-apa dan dilibatkan, terlebih untuk kepentingan pribadi."

Dendam Anak Tiri 18+ (Ending & censored version di Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang