☃️ 3 ☃️

1.6K 104 2
                                    

Rachel POV

Weekend adalah hari yang menyenangkan untuk sebagian orang karena mereka bisa meliburkan diri dari kesibukan mereka sehari-hari seperti urusan sekolah ataupun pekerjaan. Menyenangkan memang apalagi untuk ku yang setiap hari harus menguras otak dan tenagaku sekaligus.

Lelah? Pasti. Terkadang aku ingin menyerah sungguh. Namun lelahku terbayar kala aku melihat sosok yang selama ini sudi untuk merawatku. Sosok yang tak ku kenal sebelumnya rela membagi tempat tinggal untuk ku, membagi rizkinya untuk ku, bahkan rela mengosongkan perutnya hanya demi sesuap nasi untuk mengisi perut kosongku. Meski hanya dengan nasi dan garam itu patut untuk kami syukuri karena tak jarang kami harus menahan diri karena kelaparan.

Sosok wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu dengan kelembutannya dan ketangguhannya di tengah kekejaman dunia dan kerasnya kehidupan. Dengan berbesar hati ia sudi memungutku dari jalanan saat aku duduk memandang orang-orang yang sedang berbahagia, bercanda ria bersama keluarga dan teman sebayanya. Aku terus memandang seraya menahan perih dan sakit perutku yang sudah 3 hari kosong tanpa makanan.

Aku terus mengusap perutku dan menghapus air mataku yang terus jatuh. Apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bocah yang baru berumur 10 tahun saat itu, yang terus berharap pada kebahagiaan yang tak pernah ku dapatkan dan kebahagiaan yang telah lama pergi meninggalkanku sendiri. Hanya penderitaan dan penyiksaan yang kudapatkan selama bertahun-tahun tanpa orang tuaku tau hingga kejadian itu terjadi dan pada ahirnya aku memutuskan untuk pergi. Sungguh aku hanya gadis kecil lemah yang tak tau apa-apa, aku kira dengan diam dan mengalah semua bisa kembali berubah seperti semula, namun nyatanya? Aku sendiri yang memilih untuk menyerah.

Sosok itu kini semakin tua termakan oleh usia, sosok yang selalu menatapku teduh dengan senyum hangatnya tak pernah luntur di wajahnya. Hanya dengan ia senyumku kembali terukir di saat dunia ku telah lama mati. Ya hanya ia alasanku untuk tetap bertahan, aku ingin menjadi kebanggaannya dan membahagiakannya sebagai balas budiku agar ia tak kecewa dan merasa sia-sia karena telah banyak berkorban untuk ku.

"Ra, ngelamun?" Panggilnya lembut dengan tatapan yang selalu membuat hatiku hangat.

"Hah? Ga nek." Jawabku seraya tersenyum tulus padanya.

"Mau berangkat sekarang?"

Aku pun memandang arlojiku sudah menunjukan pukul 7 pagi menyadarkanku untuk segera pergi untuk mengais rejeki. Dan mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan nenek.

"Rachel berangkat dulu ya nek." Pamitku seraya mencium lembut tangan kecil yang sangat kurus

"Hati-hati di jalan nak."

"Iya nenek juga hati-hati di rumah. Inget jangan kecapean. Nenek cukup di rumah dan doain Rachel aja."

"Iya sayang itu pasti." Jawabnya seraya mengusap puncak kepalaku lembut.

"Ya udah, Rachel berangkat nek. Assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam."

Kaki kecilku kini berjalan menuju tempatku bekerja di ahir pekan. Tempat itu sebenernya buka pukul 9 pagi, namun karena mengingat perjalanan yang harus ku tempuh cukup lama membuatku harus pergi lebih awal karena aku harus menempuhnya hanya dengan berjalan kaki.

Ya cukup melelahkan bahkan jika aku lelah aku akan memutuskan untuk duduk sebentar entah di halte, taman, trotoar atau emperan toko sekalipun. Kenapa aku tak memakai kendaraan umum? Ya lagi dan lagi aku harus berfikir dua kali karena lebih baik ku gunakan untuk membeli roti saat aku lapar atau membawa nasi bungkus untuk nenek di rumah saat pulang nanti. Meski hanya mendapat satu bungkus setidaknya bisa untuk mengisi perut kami yang kosongkan?

Rᴀᴄʜᴇʟ Sᴛᴏʀʏ (#SFS1) [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang