☃️ 48 ☃️

449 41 25
                                    

"Papah"

Max masih terdiam di tempatnya melihat pemandangan di depannya, ia menatap sendu kala melihat pria paruh baya itu terbaring di ranjangnya. Pria yang dulu menjadi super heronya sejak ia masih balita hingga ia dewasa kenangan itu terus berputar di otaknya hingga terhenti tepat saat pria itu mengusirnya. Ada rasa nyeri melihat sosok itu terbaring dan semakin kurus sejak dari terakhir mereka bertemu.

Pria paruh baya itu pun menoleh ke arahnya setelah sang istri berkata jika putra tercinta mereka telah kembali. Ia pun tersenyum tipis seraya menatap putra semata wayangnya sendu.
"Putraku." Lirihnya.

Max tersenyum di tempatnya dengan mata berkaca-kaca. Dengan langkah lebarnya ia berjalan mendekatinya hingga tatapan keduanya bertemu dan dengan suara yang bergetar ia menyapa sang heronya.

"Assalamu'alaikum papah." Salamnya seraya bersimpuh di depan samping sang mamah berhadapan langsung dengan sang papah.

Ia pun menyalimi tangannya dan menciumnya takdim. Air mata pun ikut luruh tak bisa lagi ia bendung. Ada rasa yang berkecamuk di dadanya. Rasa penyesalan, kecewa, marah serta rindu menjadi satu namun rasa rindu itu lebih mendominasinya.

Daniel menjawab salam sang putra dengan lirih bahkan terdengar seperti bisikan membuat Max semakin terisak di tempatnya. Tangannya pun terulur untuk mengusap lembut surai putranya itu.

"Apa kabar nak? Maafin papah udah buat kamu susah."

"Gak! Papah gak pernah nyusahin aku. Adanya aku yang selalu buat papah susah dan cuma bisa menjadi beban dan buat malu keluarga. Maafin aku pah. Maaf."

"Enggak nak. Kamu itu kebanggaan papah. Putra tampan papah sudah dewasa sekarang dan tentu semakin tampan."

Max pun terkekeh di tengah isakannya.

"Tentu! Keturunan Stone tak pernah mengecewakan right?"

"Sure!" Kekeh pria paruh baya itu.

"Papah sakit apa hm?" Ujar Max seraya menatap sendu sang papah.

"Mungkin rindu pada putra tunggal papah yang yang tidak bisa kami temui. Selama ini kamu dimana hm?"

"New York. Aku kuliah disana bareng Roy."

"Roy? Dia bersamamu? Kenapa keluarganya tak mau memberi tahu kamu tentang keberadaanmu? Padahal mereka tahu kami tengah mencarimu."

"Maaf, itu karena permintaan aku untuk menutup semua akses. Aku gak mau kalian kepikiran keadaan aku waktu itu. Maaf."

Daniel mengerutkan dahinya bingung. "Apa yang terjadi denganmu nak?"

"Papah tentu tahu kalo Rachel sedang kritis dan koma. Setelah papah memberiku pilihan, Rachel harus di bawa pergi entah kemana oleh keluarganya. Mereka tak pernah mengabariku tentangnya yang semakin kritis waktu itu. Mereka menghilang bak di telan bumi, tentu semua itu membuatku semakin kacau ada ketakutan jika dia benar-benar pergi selamanya. Aku takut dia gak selamat dan gak bisa kembali lagi. Cuma ada Roy dan kedua orang tuanya yang sesekali mengunjungi kami disana."

Daniel semakin menatap sendu putranya itu, tersirat rasa penyesalan yang mendalam melalu tatapannya itu.

"Maafkan kami nak, maafkan papah yang gak ada saat kamu terpuruk. Justru papah membuatmu semakin terpuruk dengan keadaanmu saat itu. Maafkan papah nak. Maaf." Lirihnya dengan air mata yang telah menetes di sudut matanya.

Rᴀᴄʜᴇʟ Sᴛᴏʀʏ (#SFS1) [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang