☃️ 14 ☃️

868 62 0
                                    

Sore kini cukup cerah secerah perasaan seorang Maximilliam. Sepanjang perjalanan laki-laki itu terus tersenyum mengingat kejadian tadi bersama Rachel. Namun di pertengahan jalan mobil Max harus terhenti saat melihat seorang nenek yang terduduk tak berdaya di pinggir jalan yang cukup ramai untuk meminta pertolongan, namun sadisnya tak ada satu orangpun yang mau menolongnya. Apa karena nenek itu terlihat kumuh membuat mereka tak berniat tuk membantunya? Miris memang.

"Nek?! Nenek kenapa?" Tanya Max seraya berjongkok di depannya.

Tatapannya menyendu kala melihat sang nenek terluka cukup parah, banyak goresan dan darah mengalir di kulitnya yang tipis itu.

"Tolong nak.. tadi nenek ke serempet pengendara motor yang ugal-ugalan." Lirihnya.

"Nenek bisa jalan?"

Sang nenek hanya menggelengkan kepalanya dan Max segera mengangkatnya membawanya ke mobil.

"Kita ke rumah sakit ya nek." Pinta Max.

"Gak usah nak, bisa antar saya ke rumah?"

"Pasti nek! Tapi saya akan mengantarnya setelah dari rumah sakit." Finalnya.

Max benar-benar membawanya ke rumah sakit meski harus sedikit berdebat dulu, setelah selesai Max langsung mengantarkannya ke rumah sang nenek dengan mengikuti petunjuknya.

Mobilnya kini terhenti di depan gang sempit karena tak mungkin membawa mobilnya ke dalam sementara gang itu hanya bisa di lewati oleh 3 orang pejalan kaki. Max kembali menggendong sang nenek hinggal langkahnya terhentu saat nenek menunjukan rumahnya.

Hati Max mencelos melihat rumah di depannya bahkan gubuk lebih baik dari pada rumah itu. Rumah yang bertembok anyaman bambu yang sudah lapuk dengan kayu balok tua sebagai tiangnya dan pintu yang terbuat dari bambu dan tanpa jendela.

Kreettt

Pintu pun berdenyit, rumah itu sangat sempit hanya ada tikar dan satu lemari kecil yang ia yakini berisi baju dengan buku-buku tersusun rapi di atasnya menandakan ada penghuni lain selain nenek di rumah itu. Namun rumah itu sangat rapi dan bersih.

"Silahkan masuk nak, duduk dulu. Maaf sempit." Ujar sang nenek seraya menuangkan air di gelas. "Maaf cuma ada air tadi mau belanja malah kena musibah." Lanjutnya

"Ah iya nek gak papa, makasih." Jawab Max seraya menerima gelasnya dan meminum airnya.

"Oh ya nama kamu siapa?"

"Maximilliam nek, nenek bisa panggil saya Max. Kalo nenek?"

"Panggil saja nek Rumi." Jawabnya, Max hanya menganggukan kepalnya tanda mengerti.

"Oh iya nenek tinggal sama siapa?"

"Cucu saya, dan mungkin kalian sepantaran."

"Terus sekarang dimana?"

"Dia sekolah dan dia jarang pulang terlebih dahulu kecuali jika sekolahnya pulang cepat."

"Emang kemana nek?"

"Dia kerja."

"Kerja? Kerja apa? Memang usianya berapa?"

"Nenek tidak tau pasti tapi dia berkerja di 2 tempat yang berbeda. Dan mungkin sekarang usianya jalan 16. Dia baru masuk sma."

"Bagaimana bisa kerja di tempat yang berbeda? Sementara ia masih sekolah? Ohh terus cucu nenek cewek apa cowok?

"Setiap pulang sekolah dia bekerja di kedai dan pada hari sabtu dan minggu dia bekerja di cafe. Cucu nenek cewe."

Lagi dan lagi hati Max di buat kagum dan tak percaya dengan keadaan yang ada depannya. Keadaan yang ia kira hanya dalam cerita saja. Kehidupan yang sang berbanding terbalik dengan kehidupannya yang begitu nyaman dan mewah. Saat Max tengah di buat kagum dengan sosok yang di ceritan oleh sang nenek tiba-tiba ponselnya bergetar membuat ia mengalihkan estensinya.

Rᴀᴄʜᴇʟ Sᴛᴏʀʏ (#SFS1) [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang