Vote dan komen jangan lupa <3
•••
Jungwon sudah membicarakan hal ini secara matang pada Heeseung. Kekasihnya itu memperbolehkannya pergi berdua dengan Jay ke Museum. Justru lelaki itu menekannya agar berpenampilan menarik di depan Jay, padahal Heeseung tau ... Itu bukanlah gaya Jungwon.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua malam. Jungwon baru saja selesai membuat tugas power poin yang dikumpulkan besok pagi-pagi sekali. Saat pulang bekerja, Jungwon langsung mengebut tugas kuliah dan harus merelakan jam tidurnya.
Dia menutup laptopnya dan berjalan terkantuk-kantuk menuju ranjang. Begitu sampai, Jungwon merebahkan tubuhnya yang lelah dan menarik selimut sampai leher. Besok hanya ada satu kelas di pagi hari, sorenya dia akan pergi dengan Jay ke museum Fatahillah. Sebelumnya dia sudah pernah ke sana sendirian, tetapi pergi dengan seseorang kedengaran lebih menyenangkan.
Tadinya Jungwon sudah hampir terlelap dalam alam mimpi, sebelum sebuah suara ketukan pintu terdengar dari luar kamarnya. Jungwon mengumpulkan kesadaran dan berjalan ke arah pintu dengan lunglai.
"Adek."
"Kenapa, Bun?" sahut Jungwon menutup mulutnya yang menguap.
"Maafin Bunda kalau ganggu tidur kamu, Bunda cuma mau bicara sebentar."
Jungwon merasa heran. "Emangnya nggak bisa besok aja, Bun?"
"Besok Bunda pergi pagi-pagi sekali, ada urusan di kantor."
"Apa yang mau Bunda omongin sama Jungwon?" Bersedekap dada, Jungwon bersandar pada ujung pintu sambil menatap sang Bunda.
"Surat tagihan kampus kamu mana? Kok selama semester ini Bunda sama sekali nggak terima?"
Pertanyaan sang Bunda--Eunha--membuat Jungwon mengernyit bingung. Bukannya sudah dikirim lewat gmail? Apa jangan-jangan kampusnya lupa mengirimkan tagihan semester ini?
"Bunda udah liat gmail? Siapa tau nyelip di sana, terus Bunda nggak sadar." Jungwon berkata.
"Ada, tapi bukan tagihan ... Yang ada justru bukti pembayaran lunas seluruh tunggakan semester kamu."
Jungwon terhantuk tembok karena reflek terkejut. Apa Bundanya bilang? Pembayaran lunas? Sejak kapan semuanya sudah dibayar? Dan yang lebih penting lagi, dari mana bundanya mendapatkan uang sebanyak itu?!
"Bunda dapat uang segitu banyaknya darimana?"
Eunha menggeleng karena merasa tidak membayar apapun. "Bunda nggak keluarin uang sedikitpun, Dek. Justru Bunda mau tanya sama kamu, darimana kamu dapat uang untuk bayar semuanya?"
Jungwon pun menggerakkan tangannya, menolak tuduhan sang Bunda padanya. Mana mungkin dia sanggup membayar semuanya sekaligus?
Keduanya terdiam dan masing-masing memijit pangkal hidung karena bingung. Kalau keduanya tidak merasa membayar tunggakan, lalu siapa lagi? Apa mungkin sistem pembayaran di kampus Jungwon sedang bermasalah?
Jungwon memejamkan matanya dan mengingat sesuatu. Mungkinkah ... Jay yang melakukan ini semua? Mengingat orang yang dekat dengannya akhir-akhir ini hanya lelaki itu, dan hanya Jay yang berpotensi menghamburkan uang secara cuma-cuma.
"Aku tau siapa yang bayarin semuanya."
Eunha menaruh perhatian pada Jungwon yang terlihat menghela nafas frustasi. Nampaknya ada hal yang sengaja dirahasiakan Jungwon padanya, anaknya itu terlihat lebih diam daripada biasanya.
"Dek, jujur sama Bunda ... Kamu sebenarnya kenapa? Akhir-akhir ini kamu murung terus."
"Nggak apa-apa, Bun. Jungwon cuma kecapean aja. Intinya sekarang Bunda tenang aja, oke? Jungwon bisa selesain masalah ini sendirian." Jungwon mengakhiri perkataannya dengan senyuman lebar. Berusaha meyakinkan Eunha kalau tidak ada hal yang harus dikhawatirkan.
"Benar, ya? Yaudah kalau begitu kamu lanjut tidur ya, Nak. Istirahat yang cukup, kamu lebih lesu dari biasanya."
Eunha memegang pipi Jungwon dan tersenyum lembut sebelum berbalik pergi pada kamarnya di sebelah. Membiarkan Jungwon termenung di depan pintu seraya mengacak rambutnya.
"Ini semua kemauan aku, tapi kenapa rasanya aku jadi jahat banget, ya?"
•••
Pukul empat sore. Ini adalah waktu yang sudah ditetapkan mereka berdua untuk bertemu. Lebih tepatnya Jay akan menjemputnya di rumah--ya, kalian tidak salah membaca. Jay benar-benar menjemput Jungwon di rumah pemuda itu lima menit sebelum tepat pukul empat sore.
Omong-omong mereka berdua sudah saling bertukar nomor telfon saat itu. Jadi, Jungwon sudah tahu Jay akan menjemputnya karena lelaki itu sudah memberi kabar lebih dulu padanya.
Tinn!
Jungwon dari dalam rumah segera memakai sepatunya dan mengambil dompetnya yang tertinggal di atas meja. Dia menenteng ponselnya dan berjalan keluar, lalu membuka pagar serta tak lupa menutupnya kembali.
Jungwon tiba tepat di samping mobil Jay. Lelaki itu memandangnya dari atas sampai bawah tanpa berkedip. Lantas sebelum semakin jauh, Jungwon ikut memeriksa penampilannya. Tidak ada yang salah. Dia hanya memakai celana Jeans dan kaus putih dengan tulisan di tengah-tengah, serta dipadukan dengan kemeja biru langit yang tidak dikancing.
"Kenapa?" tanya Jungwon.
"Nggak, kamu kalau colorful gini makin kecil. Gemes banget mirip anak sd." Jay terkekeh kecil setelah mengatakan hal itu. Jungwon mempoutkan bibirnya kesal, apa iya penampilannya seperti itu?
"Aku balik aja ke dalam biar nggak jadi, ya?"
"Eh, jangan dong! Astaga Kakak cuma bercanda. Tapi, emang kamu gemesin banget sih."
"Tuh kan! Ah, sebel sama Kak Jay!" Jungwon mengambil langkah berbalik dan pergi. Tapi sebelum itu semua terjadi, Jay lebih dulu menahan pergerakannya. Oleh karena itu, Jungwon yang tidak siap sontak terhuyung ke arah Jay dan wajahnya tepat menabrak dada bidang lelaki itu.
Keduanya terpaku. Jungwon bisa merasakan degupan jantung Jay yang tidak beraturan, wajahnya memerah sempurna. Sedangkan Jay harus menahan kegugupan ketika secara tidak sengaja mereka berpelukan.
"Ehm-- ayo kita pergi ke museum, Kak."
Jungwon salah tingkah. Dia memalingkan wajah, lalu masuk lebih dulu ke mobil dan duduk di samping kursi kemudi, setelahnya baru disusul Jay yang juga terlihat canggung dengan Jungwon setelah insiden tadi.
"Kak, aku mau tanya sesuatu."
Di tengah-tengah fokus berkendara, Jay menoleh dan menanggapi perkataan Jungwon hangat. Meski matanya tetap fokus pada jalanan yang dilalui.
"Tanya apa?"
"Jujur, Kak Jay yang lunasin semua tunggakan semester aku, 'kan?" Jungwon menatap Jay dari samping.
Jay terdiam dan menoleh sekilas pada Jungwon. "Iya, lagian aku bingung mau ngabisin uang pake cara apa lagi."
Astaga, tampar wajah Jungwon sekarang! Bagaimana bisa Jay berkata kebingungan menghabiskan uang? Memangnya sekaya apa sebenarnya lelaki di sampingnya ini? Pemilik tambang emas atau migas? Mungkin keduanya?
"Aku jadi nggak enak sama Kak Jay. Padahal kita bukan siapa-siapa, tapi Kakak sampe bayarin kuliahku segala. Nanti kalau ada uang, Jungwon ganti semuanya ya, Kak?"
Katakanlah terimakasih pada Heeseung karena sudah menularkan sifat manipulatif dalam diri Jungwon. Lihatlah pemuda itu yang sangat tenang dalam berujar kebohongan.
"Uang itu nggak seberapa, Dek. Jangan bebanin diri kamu dengan hal-hal yang nggak perlu, aku juga nolongin kamu tanpa pamrih kok."
Keduanya saling melemparkan senyuman. Satu di kursi kemudi memperlihatkan senyuman tulus, sedangkan pemuda di sampingnya mengulas senyum penuh kemenangan.
"Terimakasih, Kak."
Dan maaf karena udah manfaatin kondisi Kakak untuk kepentingan pribadi aku, lanjutnya dalam hati.
•••
Chapter depan isinya mulai serius :"
![](https://img.wattpad.com/cover/293200239-288-k889968.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara ; Jaywon (✓)
Fanfiction"Maaf. Aku udah lancang jadiin kamu harapan hidup, Won." *** Jungwon Safi Haningrat, seorang mahasiswa gizi menjalin hubungan dengan Heeseung Sanu Atalarik, lelaki yang terkenal memiliki banyak sisi buruk dan musuh di kampus. Mereka berpacaran seper...