11 : Perihal Restu

1.2K 227 23
                                    

Sepi yang komen. Lama-lama aku pakein target supaya lama upnya :)

•••

Eunha semakin menjauhkan Jungwon dari ponselnya sendiri. "Bilang sama Bunda, udah berapa lama kamu begini?"

"BUNDA!"

Pranggg!

Suara pecahan menggema di penjuru rumah, suara yang memekakkan telinga itu terdengar sangat nyaring hingga detik setelahnya membuat keheningan di antara Ibu dan Anak itu yang tengah bersitegang.

"Dek.." Eunha berujar lirih sembari menatap ponsel Jungwon yang secara reflek dia lempar hingga menabrak dinding dengan keras.

Sedangkan Jungwon sudah terjatuh dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan untuk bersimpuh di kaki Eunha dengan kedua bola matanya yang berair.

"Jungwon udah kecewain Bunda, maaf."

"Dek.."

"Jungwon nggak bisa jaga diri sendiri sampai akhirnya begini."

"Sayang.."

"Sekarang terserah Bunda mau anggap Jungwon gimana, Jungwon udah capek berusaha jelasin ke Bunda."

Jungwon bangkit dari posisinya dan berjalan lesu ke arah kamar. Saat tangannya baru saja memegang gagang pintu, Eunha meneriakkan kata-kata yang membuatnya tersenyum miris karena merasa tidak adil.

"Bunda begini karena Bunda nggak mau kamu dicemooh masyarakat, Dek!" Sebagai seorang ibu, khawatir adalah hal yang wajar.

Jungwon tertawa palsu, penuh dengan paksaan di tiap tarikan bibir membentuk sebuah senyuman. "Kalau memang kami saling mencintai dan ditakdirkan bersama ... Bunda bisa apa?"

Kini giliran Eunha yang terdiam memikirkan perkataan Jungwon. "Nak, kamu belum tau gimana sulitnya situasi seperti itu."

"Memang Jungwon belum tau, tapi Jungwon yakin pasti kami bisa ngelewatin itu semua." Jungwon membela Jay, saat dirinya masih berhubungan dengan Heeseung.

"Adek ... Bunda pengen yang terbaik buat masa depan kamu!"

"Bunda nggak ngerti apa yang terbaik buat Jungwon ... Jangan asal nebak kebahagiaan Jungwon, Bun. Aku justru sedih Bunda kekang Jungwon begini." Jungwon mendalami perannya dengan baik. Mungkin dia membayangkan kalau hubungannya dengan Heeseung yang ditentang oleh sang Bunda.

"Won--"

"Selamat malam, Bunda."

Demikian pintu itu tertutup rapat sebelum Eunha menyelesaikan ucapannya pada Jungwon. Pemuda itu begitu lelah menanggapi ucapan Eunha yang selalu menyudutkan dirinya dan tidak memberikan kesempatan untuknya menjelaskan apapun.

Jungwon menghela nafasnya dan merebahkan diri ke ranjang single size miliknya yang terasa dingin dan nyaman. Ingatannya berputar-putar saat Eunha, ibunya sendiri menuduhnya yang macam-macam.

"Aku harus gimana?"

Terlihat frustasi, Jungwon menggigit kukunya gugup. Sekarang dia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun, baik Jay ataupun Heeseung. Lantas bagaimana cara agar dia bisa mencurahkan kegelisahan hatinya pada kekasihnya malam ini?

Saat otaknya dipaksa untuk berpikir, justru matanya terasa sangat berat hingga akhirnya terpejam dan tertidur begitu saja. Ah, baiklah. Besok saja Jungwon akan memikirkan apa langkah yang harus dia ambil ke depannya.

•••

Paginya, Jungwon terbangun pukul tujuh pagi karena kelasnya akan dimulai kurang lebih satu jam lagi. Dia kebingungan bagaimana cara agar bisa menghubungi Heeseung, karena lelaki itu juga tidak aktif di akun sosial medianya. Padahal Jungwon sudah secara diam-diam menelfon Heeseung menggunakan laptopnya.

Jungwon menenteng tasnya di tangan dan keluar dari kamarnya. Dia berencana datang ke kampus lebih pagi untuk menghindari sang Bunda yang pasti akan terus mencecar dirinya.

"Adek!"

Sial.

Jungwon memberhentikan langkahnya ketika tiba-tiba Eunha memanggilnya dari meja makan. Niatnya ingin pergi pagi pun kandas detik itu juga karena Eunha tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Dengan malas Jungwon pun menghampiri Eunha, dan menatap bundanya penuh tanya.

"Kamu sarapan dulu, Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu."

Eunha menarik Jungwon agar duduk di kursi kosong sebelahnya. Meja makan mereka terdiri dari empat kursi, tapi yang selalu terisi hanya dua. Kursi ketiga tadinya ditempati oleh sang ayah, dan satunya ... Selalu dibiarkan kosong.

Jungwon menatap piringnya yang sudah diisi oleh nasi dan aneka ragam lauk-pauk yang diambilkan oleh sang Bunda. Memang makanan yang ada terlihat sangat menggiurkan, tetapi dirinya seolah kehilangan nafsu makan.

"Kamu keliatan pucat, Dek. Kamu sakit?"

Jungwon menggeleng dengan bibir pucatnya yang kentara jelas. "Ah, nggak. Jungwon baik-baik aja kok," katanya.

Jungwon membetulkan posisi duduknya dan mengambil satu suapan ke dalam mulutnya. Rasanya hambar, seperti ada yang kurang dari masakan Eunha. Jungwon mengunyah makanannya dengan sangat lamban.

"Maafin Bunda. Semalam nggak bisa tahan emosi sampai nuduh kamu yang macam-macam."

Yang lebih muda menaruh sendoknya dan balik menatap Eunha. "Maafin Jungwon juga, semalam udah bentak Bunda."

Eunha menggeleng dan mengambil satu tangan anaknya untuk dia genggam. "Bunda yang salah. Bunda udah jahat banget sama kamu.."

"Semalam Bunda mimpi ketemu Ayah kamu, Dek. Dia bilang katanya Bunda udah terlalu keras sama kamu. Tau nggak apa hal terakhir yang Ayah kamu bilang sebelum pergi?"

Jungwon menampilkan raut penasaran. "Ayah bilang apa?"

"Ayah kamu bilang ... Kalau kamu punya tujuan baik dengan menjadi topangan hidup seseorang, dan Bunda nggak berhak buat ngekang kamu ngelakuin itu semua."

Tujuan baik? Lantas Jungwon mulai menanyakan kembali niat hatinya. Apakah untuk sekedar memanfaatkan kekayaan Jay, atau jangan-jangan sudah berubah menjadi niat lain?

"Tapi, Dek, Bunda serius mau bilang ini ke kamu ... Apa benar kalian saling mencintai satu sama lain? Bunda nggak mau kamu salah pilih, apalagi hubungan kalian nantinya pasti nggak gampang." Eunha menatap dalam mata Jungwon, dia mencari kesanggupan Jungwon atas perkataannya barusan.

"Kak Jay beneran serius sama Jungwon, Bun. Dia bahkan udah punya rencana untuk minta restu ke Bunda," jawab Jungwon mengingat ucapan Jay padanya semalam.

"Jujur Bunda masih nggak percaya, gimana bisa kamu kenal dia dan bisa sebegitu percayanya sama Jay itu. Kamu masih muda banget, Dek. Masih piyik buat menikah."

Sejujurnya Eunha hanya masih berat jika harus melepaskan Jungwon dalam waktu dekat. Menurutnya, Jungwon selalu tetap menjadi anak kecil yang belum tumbuh dewasa untuk pergi ke kehidupannya sendiri.

"Tapi, kalau memang niat dia baik, silahkan ajak ke rumah supaya bisa ketemu Bunda."

"Apa?"

Jungwon tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Padahal Jay belum mengutarakan niat baiknya pada Eunha, tetapi sudah lebih dulu diberikan lampu hijau.

"Kurang jelas? Bunda nggak akan kasih kalian restu kalau si 'Jay' itu nggak temuin Bunda," tegas Eunha, mengulang kembali ucapannya.

"Semudah ini?"

Jungwon tersenyum sebentar pada Eunha, kemudian memikul tasnya dan berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi pada Bundanya. Restu sudah dikantongi, hanya tinggal menunggu langkah selanjutnya dalam teater sandiwara ini.

•••

Lengkara ; Jaywon (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang