[𝘗𝘭𝘦𝘢𝘴𝘦 𝘋𝘰𝘯'𝘵 𝘊𝘰𝘱𝘺 𝘔𝘺 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘺]
📍Awas Baper.📍
! Mengandung kata kasar !
Nevan Phoenix Saguna, memiliki sifat keras, dingin dan juga kejam, Siapapun yang mempunyai masalah dengannya di pastikan tidak akan selamat.
Di depan orang b...
Hari demi hari begitu cepat berlalu, sudah dua minggu lebih rasanya. Vanessa hidup tanpa Nevan, laki-laki itu masih betah memejamkan matanya, dengan alat bantu pernapasan dan juga berderet kabel menempel di tubuhnya.
Meskipun Nevan sudah melewati masa kritis, dan sudah di pindahkan ke kamar inap biasa, namun tetap saja ia masih butuh menanganan ketat, satu kamar pasien hanya di perbolehkan satu orang yang menunggu.
Vanessa lah yang setia menunggu dan menemani Nevan, gadis itu tak ingin beranjak dari rumah sakit jika bukan karena urusan sekolah.
Bahkan jika bisa, Nessa ingin dia tidak sekolah. Pernah suatu hari Vanessa mengungkapkan keinginannya, pada Pak Nugroho dan Bunda Novi. Jelas saja mereka menolak, jangan karena putra mereka sedang sakit Vanessa tidak sekolah, kalau sampai Nevan tau pun, pasti cowok itu akan marah.
Meskipun keadaan Nevan hal terpenting, namun sekolah adalah nomer satu, bagi kedua orang tua Nevan, maka mau tidak mau Vanessa menurut.
Seperti saat ini, Vanessa tengah duduk di samping Nevan, menggenggam tangan yang terbebas dari selang infus.
Nessa merapikan rambut Nevan yang mulai panjang, ia mencoba menyisir menggunakan tangan ke arah kiri. "Coba lihat, rambut kamu mulai panjang. Padahal aku paling nggak suka kalau rambut kamu mulai gondrong," keluhnya seorang diri.
Menarik napas panjang lalu ia buang secara kasar, menopang dagu dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih betah mengusap bahkan menyelusuri wajah tampan yang masih bertahan memejamkan matanya.
"Nanti pokoknya kalau kamu sudah sembuh, kurang-kurangin berantemnya. Jangan bikin aku khawatir sama takut lagi, Kamu niatnya memang baik bantu orang, tapi kalau kayak gini. Siapa yang sedih," Nessa menghela napas lagi.
"ASTAGFIRULLAH!" pekik Vanessa sampai hampir terjungkal kebelakang, saat tiba-tiba suara bariton dan serak terdengar begitu saja.
Kedua tangannya memegang dada, dengan mata membulat sempurna menatap tak percaya ke arah Nevan yang kini sudah membuka mata.
Ya. Suara itu berasal dari Nevan yang ternyata sudah sadar, meskipun terlihat masih lemas dengan memandang sayu kearah Nessa. Dapat jelas gadis itu melihat Nevan sudah sepenuhnya sadar tersenyum sangat tipis kepadanya.