Chapter 4

9K 525 2
                                    

Bobby menatap Vous dengan ekspresi bingung. "Taman? Sekarang?" 

Vous sudah turun dari tempat tidur, mengambil jaketnya, dan mengenakan sepatu tanpa menunggu jawaban. "Ya, sekarang. Cepat sebelum aku berubah pikiran." 

Bobby menegakkan punggungnya, mengingat instruksi Austin untuk tidak membiarkan Vous keluar sembarangan. Namun, menolak tuan muda yang keras kepala itu bukanlah pilihan yang bijak.

"Baiklah, tuan muda." 

Mereka berjalan menuju taman belakang mansion, tempat yang luas dengan pepohonan tinggi, lampu-lampu taman temaram, dan air mancur di tengahnya. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma bunga mawar yang baru saja disiram. 

Vous duduk di bangku kayu dekat kolam kecil, menghela napas panjang, membiarkan udara dingin menusuk kulitnya. Ada sesuatu di matanya—seperti kerinduan, atau mungkin luka yang belum sembuh.

Bobby berdiri di dekatnya, memperhatikan diam-diam. "Tuan muda, mengapa Anda ingin ke taman?" 

Vous menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku, menatap langit malam. "Aku hanya ingin merasa bebas... setidaknya sebentar." 

Bobby diam, tak tahu harus merespons bagaimana. 

"Lima hari di rumah sakit, sekarang kembali ke mansion... rasanya seperti kurungan." Vous tersenyum tipis, namun ada kepedihan di baliknya.

Bobby menggenggam tangannya di belakang punggung. "Tuan Austin hanya mengkhawatirkan Anda." 

Vous tertawa kecil, hambar. "Aku tahu... Tapi aku juga ingin hidup dengan pilihanku sendiri, Bob. Aku lelah selalu dikendalikan." 

Keheningan menggantung di antara mereka. Bobby ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu beberapa luka tak bisa dihibur dengan kata-kata. 

Tiba-tiba, Vous berdiri. "Ayo masuk sebelum Daddy tahu aku di luar." 

Bobby hanya bisa mengikuti dari belakang, bertanya-tanya kapan akhirnya luka tuan mudanya benar-benar bisa sembuh.

Saat mereka melangkah kembali ke mansion, langkah Vous terasa lebih lambat dari biasanya. Ada sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa lebih sesak dari udara malam yang menusuk.

Bobby membukakan pintu belakang mansion, membiarkan Vous masuk lebih dulu. "Anda mau langsung ke kamar, tuan muda?"

Vous tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas sebelum melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya. Bobby mengikutinya dari belakang, tetap menjaga jarak.

Saat Vous hendak membuka pintu kamarnya, sebuah suara berat dan dingin menghentikannya.

"Kau pikir aku tidak tahu kau keluar malam-malam, huh?"

Vous menutup matanya, menghela napas pelan sebelum berbalik. Austin Pouvez berdiri di ujung lorong, bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada.

Tatapan pria itu tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja.

"Tch... aku hanya ke taman, Dad," jawab Vous malas. "Apa aku harus meminta izin untuk itu juga?"

Austin melangkah mendekat, setiap jejaknya terdengar jelas di koridor yang sepi. Bobby menunduk, tahu bahwa ini bukan urusannya.

"Setelah apa yang terjadi lima hari terakhir, kau pikir aku akan membiarkanmu melakukan sesukamu?" suara Austin terdengar tenang, namun dingin seperti es.

Vous mendengus, melipat tangannya di dada. "Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."

Austin kini berdiri di hadapan Vous, matanya yang gelap menatap langsung ke dalam netra anaknya. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja?"

Sejenak, hanya keheningan yang mengisi lorong itu. Dua pasang mata bertemu—satu penuh kemarahan yang dipendam, satu lagi penuh dominasi yang tak tergoyahkan.

"Sudahlah," Vous akhirnya mengalihkan pandangannya, lelah berdebat. "Aku mau tidur."

Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu kamarnya dan masuk, menutupnya tepat sebelum Austin sempat mengatakan sesuatu lagi.

Austin hanya berdiri di depan pintu, menghela napas berat.

Anaknya keras kepala. Sama seperti dirinya dulu.

"Jaga dia baik-baik," ucap Austin kepada Bobby sebelum berbalik pergi.

Bobby hanya bisa mengangguk, menatap pintu kamar yang kini tertutup rapat. Ia tahu, ini bukan akhir dari perdebatan mereka—hanya jeda sebelum badai berikutnya datang.

Malam itu, di dalam kamar Vous—sebuah rencana mulai terbentuk. 

Ia meletakkan map hitam itu di meja, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan ritme lambat. Arnold... anak keluarga Regatta?

Vous menghela napas panjang. Tidak menyangka teman yang selalu bersamanya menyimpan rahasia sebesar ini. 

"Aku harus memastikan sesuatu," gumamnya. 

Bobby yang masih duduk di lantai hanya bisa menatap Vous dengan bingung. 

"Tuan muda, apa yang akan Anda lakukan?" tanyanya hati-hati. 

Vous menoleh, matanya berkilat penuh intrik.

"Aku akan bicara dengan Arnold." 

Bobby terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Jika Anda ingin bertemu dengannya, kita harus memastikan tempatnya aman. Keluarga Regatta bukan orang sembarangan." 

Vous terkekeh pelan, senyum miring tersungging di wajahnya.

"Aku juga bukan orang sembarangan, Bobby." 

Bobby hanya bisa menghela napas pasrah. Ia baru sadar bahwa dirinya kini bekerja untuk seseorang yang jauh lebih licik dari yang ia kira.

Malam itu terasa sunyi. Hanya suara detak jam di dinding dan hembusan angin yang terdengar samar dari ventilasi kamar. Vous menatap langit-langit, pikirannya masih dipenuhi berbagai kemungkinan tentang Arnold. 

Bobby, yang sudah berbaring di kasur sorong, melirik ke arah tuan mudanya. "Tuan muda, Anda masih memikirkan Arnold?" tanyanya pelan. 

Vous menghela napas, lalu menoleh sedikit. "Menurutmu, kenapa dia menyembunyikan identitasnya?" 

Bobby terdiam sejenak, berpikir. "Mungkin dia punya alasan. Tidak semua orang bisa terbuka tentang masa lalu mereka, apalagi jika itu berkaitan dengan keluarga besar seperti Regatta." 

Vous mendecak pelan, lalu menutup matanya. "Aku harus mencari tahu lebih dalam. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, dan aku benci dikhianati." 

Bobby tak menjawab lagi, hanya menatap langit-langit seperti Vous. 

Malam itu, meskipun tubuh mereka beristirahat, pikiran Vous tetap berputar, menyusun rencana tentang langkah selanjutnya.

' (𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang