Kamar yang sebelumnya gelap kini disinari cahaya yang menyilaukan.
Di lantai, Vous tergeletak lemah, tangannya masih berusaha meraih udara, dadanya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya menolak bekerja. Gelas yang tadi ingin ia ambil tergeletak pecah, airnya menggenang di lantai, menciptakan refleksi buram dari sosoknya yang gemetar.
Para penjaga yang melihat pemandangan itu langsung bergerak panik.
"Tuan muda!" seru salah satu dari mereka.
Salah satu penjaga bergegas mendekat, mencoba menopang tubuh Vous yang semakin melemah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya tersengal, matanya setengah tertutup, berusaha tetap sadar.
"Segera hubungi Tuan Austin!" perintah seorang penjaga lainnya.
Tanpa membuang waktu, seorang dari mereka mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Austin.
Dalam hitungan detik, pintu kamar terbuka lebar, dan Austin Pouvez berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tak bisa dibaca. Namun, dari matanya yang tajam, ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan.
"Baby boy…" gumamnya, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Dengan langkah cepat, Austin mendekat, berlutut di sisi Vous, tangannya meraih wajah putranya yang basah oleh keringat.
"Tarik napas pelan, dengarkan Daddy," bisiknya, tapi Vous hanya menggeleng lemah.
Tak ingin membuang waktu, Austin mengangkat Vous dalam gendongannya.
"Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit. Sekarang."
Dan dalam sekejap, malam yang seharusnya sunyi berubah menjadi kepanikan.
"Tidak lagi, aku tidak akan kehilanganmu lagi."
Saat mobil melaju kencang menuju rumah sakit, Austin menatap Vous yang terbaring di pangkuannya, anaknya mengerang pelan, sesekali mencengkeram kaus Austin dengan lemah.
"Tenang, Daddy di sini…"
Tapi kali ini, suara Austin tidak sekeras biasanya. Tidak ada nada otoritatif atau perintah dalam suaranya.
Hanya ada ketakutan.
Ketakutan seorang ayah yang nyaris kehilangan anaknya.
Hino yang tengah duduk di lobi rumah sakit nyaris menjatuhkan kopinya saat mendengar suara tegas itu.
Austin Pouvez berdiri di ambang pintu, dengan Vous yang lemas dalam gendongannya. Wajah sang ketua mafia yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan kini menunjukkan ketegangan yang nyata.
Tanpa membuang waktu, Hino langsung bangkit dan berlari menghampiri mereka.
"Tidurkan dia di ranjang periksa!" perintahnya cepat, sementara beberapa perawat yang melihat situasi itu langsung bersiap membantu.
Austin dengan hati-hati membaringkan Vous di atas ranjang. Napas Vous masih tersengal, matanya setengah terbuka, tapi tatapannya kosong, seakan kehilangan fokus.
"Baby boy, Daddy di sini," gumam Austin, tangannya menggenggam tangan putranya yang dingin.
Hino mengambil stetoskopnya, menekan dada Vous, mendengarkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Wajahnya mengeras.
"Jantungnya bereaksi akibat stres berlebihan," katanya sambil memberi isyarat pada perawat untuk menyiapkan infus. "Dan dia mengalami serangan panik yang parah."
Austin terdiam, tangannya menggenggam erat tangan Vous, seolah takut kehilangan.
Hino menyiapkan suntikan berisi obat penenang ringan. "Aku akan menenangkan detak jantungnya dulu. Setelah itu, kita harus bicara soal kondisinya."
Austin mengangguk tanpa suara. Di matanya yang tajam, ada ketakutan yang jarang sekali muncul.
Sementara jarum suntik perlahan masuk ke kulit Vous, Austin mengeratkan genggamannya. Ia bisa kehilangan segalanya, tapi tidak dengan putranya.
Hino keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius, menutup pintu perlahan agar tak membangunkan Vous yang kini tertidur dalam pengaruh obat. Di depan ruangan, Austin sudah berdiri dengan kedua tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh kecemasan.
"Bagaimana keadaannya?" suara Austin terdengar dalam, namun tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Hino menghela napas panjang sebelum menjawab. "Fisiknya lemah, tuan. Dia kelelahan parah, mengalami stres berkepanjangan, dan kondisi paru-parunya tidak stabil."
Austin mengerutkan kening, matanya berkilat tajam. "Kenapa paru-parunya?"
Hino menyandarkan tubuhnya ke dinding, menyilangkan tangan di depan dada. "Dua tahun hidup sendiri di negara asing tanpa pengawasan bukan hal yang mudah untuk anak seusianya, apalagi dengan gaya hidupnya yang berantakan."
Austin mengepalkan tangan. "Katakan langsung, Hino."
Hino mengangguk pelan sebelum akhirnya berkata, "Vous mengalami gangguan pernapasan akibat trauma dan kelelahan ekstrem. Jika tidak dijaga dengan baik, kondisinya bisa bertambah parah."
Austin mengalihkan pandangannya ke jendela kamar, melihat putranya yang terbaring dengan wajah pucat. Ada perasaan bersalah yang menghantamnya keras.
"Berapa lama dia harus dirawat?" tanyanya pelan.
Hino melirik Austin sejenak sebelum menjawab, "Minimal seminggu, tapi setelah itu dia harus tetap dalam pengawasan ketat. Jangan biarkan dia terlalu lelah atau stres. Kalau tidak, kemungkinan besar dia akan mengalami serangan yang lebih buruk."
Austin terdiam, pikirannya berputar cepat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa takut. Takut kehilangan putranya… lagi.
Kesunyian kembali menyelimuti ruangan putih itu. Hanya terdengar suara detak jam dan napas teratur Vous yang kini terlelap setelah efek obat tidur mulai bekerja.
Austin Pouvez duduk diam di sofa, menatap putranya yang tampak begitu rapuh di atas ranjang rumah sakit. Mata dinginnya menyiratkan sesuatu yang tak bisa diartikan—entah amarah, penyesalan, atau mungkin… kasih sayang yang terlambat ia tunjukkan.
Dua tahun tanpa kabar, dua tahun dalam pelarian, dua tahun dalam ketidakpastian. Dan sekarang, anaknya kembali dalam jangkauannya, tapi tetap saja, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Ia mengusap wajahnya kasar, menghela napas berat.
"Sial, bagaimana caranya aku bisa mendekatimu lagi, boy?"
Tatapannya kembali ke arah Vous, menelusuri setiap detail wajah putranya—wajah yang dulu selalu tersenyum cerah, namun kini hanya dipenuhi kelelahan dan ketakutan.
Perlahan, Austin bangkit dari sofa, melangkah mendekat. Tangannya terulur, hendak menyentuh rambut hitam Vous, namun ragu.
Ia menarik tangannya kembali sebelum akhirnya memilih duduk di tepi ranjang.
"Kenapa kau begitu keras kepala?" gumamnya lirih, lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Tatapan Vous saat tadi meminta pulang masih terbayang jelas di benaknya.Mata itu penuh ketakutan, penuh permohonan, tapi juga penuh amarah.
Ia tak pernah membayangkan, anak yang dulu begitu manja kini berubah menjadi seseorang yang begitu dingin—dan itu semua salahnya.
Austin mengusap tengkuknya, lalu kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Ia akan tetap di sini, menjaga putranya, meskipun anak itu tidak menginginkannya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ketua mafia sekejam Austin Pouvez merasa tak berdaya di hadapan seseorang.
Dan orang itu adalah putranya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
' (𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒)
Novela JuvenilSeorang remaja, satu-satunya pewaris keluarga mafia paling berpengaruh, memilih menjalani hidup sederhana. Bukan karena ia tidak bisa menikmati kemewahan, tetapi karena ia muak dengan belenggu yang selalu mengikatnya. Ia ingin merasakan kebebasan-se...