Chapter 14

3.9K 301 1
                                    

Saat Vous menyentak tangan Ray yang dengan lembut mengusap kepalanya, Vous berusaha melangkah mendekati sosok Daddynya. Namun, usahanya tak berhasil; tangan kecilnya kembali tertarik kuat oleh Ray yang langsung mendekap tubuh ringkih Vous.

"Lepaskan putraku!" teriak Austin dengan nada tegas, sambil memandang Ray yang hanya membalas dengan senyum miring, semakin menyeramkan bila dilihat oleh Vous.

Bobby pun hanya bisa terdiam, menyadari betapa sulitnya melawan sosok yang sedang dihadapinya.

"Ray, lepaskan putraku!" ulang Austin, suaranya semakin meninggi.

Ray seolah menghiraukan teriakan itu. Meski demikian, ia tampak enggan melepaskan Vous, meski hanya untuk sesaat.

"Kumohon..." desah Austin, terperangkap antara keinginan untuk melawan dan kekhawatiran akan keselamatan anaknya.

"Putraku bisa sesak nafas, Ray," lanjutnya dengan nada cemas, menahan kekhawatirannya.

Mendengar itu, Ray pun sejenak melonggarkan pelukannya. Anda kecil itu pun, dengan lemah, menyandarkan kepalanya ke dada bidang Ray.

"Apa yang kau inginkan sekarang?" tanya Austin, suaranya bergetar antara marah dan bingung.

Ray menatap Austin dengan senyum manis yang menyimpan rahasia, seolah ada maksud terselubung di balik kata-katanya.

"Vous menjadi adikku," jawab Ray dengan dingin.

Tanpa perlu penjelasan lebih jauh, Austin sudah bisa menebak maksudnya. Bahkan Bobby, yang mendengar, hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya.

"Tidak bisa! Dia putraku!" seru Austin dengan tegas.

"Jika kau tidak mengijinkannya, aku akan membawa Vous ke Roma," ancam Ray, setiap kata-katanya menghantam keheningan kamar yang seketika terasa berat dan membeku.

"Jangan gila!" ejek Austin dengan nada sarkas, meski hatinya berkecamuk antara kemarahan dan kebingungan.

Ray tetap kukuh, tak mau melepaskan Vous. Dengan senyum sinis, ia kembali menantang, "Iya atau tidak?"

Austin terjebak dalam dilema, pikirannya menerawang jauh membayangkan kehidupan Vous bersama orang asing di tempat yang jauh tanpa dirinya.

"Baiklah, dengan satu syarat," ucap Ray sambil mengangguk perlahan.

"Jaga putraku. Jangan lengah dalam menjaganya," syarat Austin dengan nada penuh kekhawatiran.

Ray mengangguk penuh keyakinan. "Pasti. Thanks, Uncle," jawabnya singkat.

Tanpa banyak kata, Austin memilih pergi bersama Bobby, sebelum darahnya mendidih melihat putranya masih berada dalam pelukan Ray yang asing baginya.

Sementara itu, di sudut kamar yang sama, Vous telah terlelap dalam dekapan Ray. Mata coklatnya yang lembut terpejam, menandakan bahwa ia telah tenggelam dalam mimpi.

"Apa ini rasanya punya adik? Sungguh mengesankan," gumam Ray lirih sambil menidurkan Vous perlahan di sampingnya. Tak lama kemudian, ia ikut terlelap, menyadari bahwa malam itu ia harus belajar menghadapi tanggung jawab baru sebagai 'kakak'—atau mungkin, sebagai figur yang lebih dari sekadar teman.

Di benak Vous, terlintas pertanyaan: Akankah kehidupannya berubah setelah ini? Ataukah Ray hanyalah pemanis sesaat yang hadir sebagai figur pengganti? Semua pertanyaan itu terus bergelayut dalam pikirannya, seiring bisikan bahwa suatu hari ia akan dijadikan adik oleh Ray.

Malam semakin larut. Di kamar lain, suasana berbeda terjadi. Vous kini duduk santai bermain game di atas ranjang besarnya.

"Di mana Ray?" pikir Vous. Ternyata, Ray telah pergi karena ada urusan mendadak yang lebih penting.

Cklek.

Tak lama kemudian, terdengar suara lembut dari luar kamar, "Boy, sudah. Sekarang makan dan tidurlah."

Vous mendongak, dan di sana terlihat Daddynya, Austin, yang membawa nampan kaca berisi piring nasi goreng sosis dan segelas susu coklat.

"Nanti, Dad," jawab Vous polos.

Austin dengan hati-hati meletakkan nampan itu di meja tak jauh dari ranjang Vous, lalu mengambil piringnya dan duduk di samping anaknya yang masih asyik bermain game.

"Buka mulutmu," perintah Austin dengan lembut.

Vous pun patuh. Tak lama kemudian, ia disuapi oleh Daddynya. Meski terkadang Vous menggeram atau hampir mengumpat, ia selalu menahan diri karena tahu betapa berharganya momen kebersamaan ini.

"Minumlah susumu, dan tidurlah," lanjut Austin.

Tanpa pikir panjang, Vous mengambil gelas susu dari tangan Daddynya dan meneguknya hingga gelas itu kosong.

"Tidurlah, boy," ujar Austin lagi dengan nada penuh kasih.

Setelah itu, Vous menyerahkan iPad-nya kembali pada Austin dan berbaring menyamping, memeluk erat guling kesayangannya.

"Selamat tidur, boy," bisik Austin, menyaksikan anaknya yang perlahan tenggelam dalam mimpi.

Dalam hati kecilnya, Vous berdoa pelan, "Semoga hari esok lebih bahagia, Tuhan." Sebuah harapan sederhana yang terus menguatkan tekadnya menghadapi hari yang akan datang.

Di tengah keheningan malam, Austin tiba-tiba teringat akan pesan yang pernah disampaikan oleh seseorang—pesan untuk menjaga Ray dengan sepenuh hati. Sosok yang menyampaikan pesan itu telah lama tiada, namun setiap kata-katanya masih terpatri dalam benak Austin.

Tanpa arah dan tujuan yang pasti, Ray pun memilih kembali ke keluarga Pouvéz. Kehilangan arah, ia merasa bahwa rumah yang pernah menjadi pelabuhan bagi jiwanya adalah satu-satunya tempat yang bisa ia sebut pulang. Ray tau, pintu mansion Pouvéz terbuka lebar untuknya kembali.

Dia ingin tinggal di rumah itu, namun dengan satu syarat, yaitu menjadikan Vous adiknya, dan Austin menyetujuinya.

Dalam momen itu, meski bayang-bayang masa lalu masih menghantui, keluarga Pouvéz pun kembali bersatu. Austin berjanji dalam hatinya untuk menjaga Ray seperti pesan yang telah lama menjadi pegangan—sebuah ikatan yang tak tergoyahkan oleh waktu atau keraguan. Kini, di antara tatapan yang penuh pengertian dan pelukan yang hangat, Ray menemukan secercah harapan untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.

' (𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang