Arnold terdiam sesaat, napasnya memburu. Matanya menatap tajam ke arah kakaknya, penuh kemarahan dan kebingungan. "Lo selalu kayak gini! Ngerasa paling tahu apa yang gue butuhin!"
Kakaknya tetap tenang, meski ada sorot lelah di matanya. "Kalau gue nggak kayak gini, lo bakal kabur lagi. Gue nggak bisa biarin itu terjadi."
Arnold mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Gue nggak kabur. Gue cuma nggak mau balik!"
Mobil mulai melaju, membawa mereka menjauh dari sekolah. Di dalam kabin yang sempit itu, hanya ada suara napas berat Arnold dan tatapan kakaknya yang masih penuh keteguhan.
"Lo nggak ngerti…" gumam Arnold pelan, menatap ke luar jendela dengan ekspresi terluka.
Kakaknya menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. "Kalau gitu, kasih gue kesempatan buat ngerti. Tapi jangan pergi lagi, Arnold."
Arnold tidak menjawab. Pikirannya kacau, hatinya penuh pergulatan. Ia tak tahu harus percaya atau tidak. Yang jelas, satu hal masih mengganjal dalam dirinya—sesuatu yang belum bisa ia lepaskan.
Sudah satu minggu sejak Arnold kembali kabur dari rumah. Ia kini tinggal di markas bersama teman-temannya. Namun, keputusannya itu justru menarik perhatian seseorang—ayahnya, Julio Cleverley, serta kakaknya, Mark Cleverley.
Vous dan teman-temannya tengah berkumpul seperti biasa ketika tiba-tiba seseorang menyelinap masuk ke dalam markas, tampak mencari keberadaan Arnold.
Sementara itu, Arnold duduk termenung, meratapi nasibnya. Kepalanya terasa semakin pusing, dan sejak kemarin ia sudah mengeluh tentang hal itu. Suhu tubuhnya pun semakin tinggi, menandakan kondisinya yang memburuk.
Melihat keadaannya, Vous dan teman-temannya menyarankan agar ia pulang untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, Arnold tetap bersikeras menolak, enggan kembali ke rumah.
"Di mana Arnold?" tanya seseorang dengan nada khawatir.
Vous menggeleng pelan. "Entahlah, Om. Dia ada di atas. Sejak kemarin, susah disuruh pulang."
Mark mengernyit dan bertanya, "Kenapa dia?"
"Demam tinggi," jawab Lio singkat.
Tak lama kemudian, Arnold muncul dan turun dari tangga sambil memegangi kepalanya. Mark segera menggenggam lengan Arnold agar adiknya tidak terjatuh.
Julio, ayah mereka, dengan sigap menggendong Arnold dengan bridal style dan langsung membawanya ke rumah sakit. Semua temannya mengikuti dari belakang, kecuali Vous yang tampak terpaku dan bingung.
Vous memilih untuk kembali ke rumah, dengan dada yang terasa sangat nyeri sehingga setiap langkah terasa berat. Sesampainya di gerbang, para penjaga memperhatikan Vous yang tiba-tiba berhenti di samping pos penjaga.
"Tuan muda, ada apa?" tanya salah satu penjaga.
Tak lama kemudian, Bobby berlari mendekati Vous. Ia tahu bahwa Vous pasti kelelahan, karena ia memilih berjalan kaki pulang-pergi tanpa menggunakan motor ataupun mobil.
Vous mencoba untuk berjalan kembali, namun rasa pusing tiba-tiba menghantamnya. Ia hampir terjatuh, dan para penjaga dengan sigap menangkapnya tepat pada saat itu. Tanpa membuang waktu, mereka segera membawa Vous ke rumah sakit dan menghubungi Austin.
"Tuan muda hanya kelelahan, Tuan. Tidak ada penyebab lain. Saya permisi," ujar dokter sebelum meninggalkan ruangan.
Setelah dokter pergi, Austin masuk ke ruang inap dan menatap Vous dengan cemas. Ia menghela napas, lalu mengusap kepala putranya dengan lembut.
"Kenapa kamu bandel sekali, boy," gumamnya, suaranya penuh kehangatan meskipun ada nada khawatir di dalamnya.
Austin kemudian duduk di samping ranjang, menatap wajah Vous yang masih terlelap akibat pengaruh obat. Ia memilih untuk tetap di sana, menunggu putranya sadar, memastikan ia baik-baik saja sebelum memikirkan hal lain.
Sore harinya, setelah kembali normal, Vous memilih berjalan-jalan di lorong rumah sakit dengan Bobby yang setia memegang infusnya. Langkahnya tanpa tujuan tiba-tiba membawanya mendekati sebuah ruang inap yang tampak sepi.
"Anda mau kemana, Tuan muda?" tanya Bobby dengan nada penasaran.
" Aku hanya penasaran, apakah Arnold masih ada di sini atau sudah pulang," jawab Vous, suaranya mengandung kekhawatiran.
Bobby terdiam sejenak, lalu berkata, "Ruangan itu seharusnya tempat Arnold dirawat. Aku dengar kondisinya sempat menurun."
Mereka mendekati pintu ruang inap tersebut. Bobby mengetuk pelan, dan tak lama kemudian, seorang perawat muncul dari balik tirai.
"Maaf, Tuan muda, ruang inap ini sudah kosong. Kami telah memindahkan Arnold ke ruang perawatan intensif karena kondisinya memburuk," jelas perawat itu dengan tenang.
Vous menatap perawat dengan mata yang penuh cemas. "Intensif? Kenapa bisa begitu?"
Perawat itu menghela napas, "Tadi siang, kondisi Arnold mengalami penurunan mendadak. Dokter memutuskan untuk memindahkannya agar ia mendapatkan penanganan yang lebih optimal. Kami masih menunggu hasil tes lanjutan."
Bobby menepuk bahu Vous dengan lembut, "Kita tunggu kabar lebih lanjut, Tuan muda. Semoga Arnold cepat membaik."
Vous mengangguk pelan sambil menelan kekhawatirannya. "Iya, semoga dia segera pulih. Aku khawatir sejak dia mulai mengeluh tentang demam tinggi."
Di lorong yang sunyi itu, antara langkah dan bisikan harapan, Vous merasa beban kekhawatiran semakin berat. Namun, ia juga tergerak oleh tekad untuk segera mengetahui kondisi sahabatnya itu. Dengan Bobby di sampingnya, ia melangkah kembali menyusuri lorong, menanti secercah kabar baik yang bisa meredakan resah di hatinya.
Vous terhuyung hampir jatuh karena tanpa sengaja tertabrak seseorang.
"Maaf, saya tidak sengaja," ujar pria itu sambil menepuk pundak Vous.
Vous mendongak lalu memalingkan wajahnya. Namun, sebelum dia berjalan terlalu jauh, pria itu mencegahnya, "Bukankah kamu teman Arnold?" Vous hanya mengangguk tanpa menoleh.
Vous sengaja menghindari pria itu karena dia tidak ingin berbicara dengan siapapun kecuali Bobby.
Tiba-tiba, terdengar suara yang mendekat, "Vous? Sedang apa kamu di sini?" Suara ayahnya semakin dekat.
Dengan cepat, Vous langsung memeluk ayahnya itu sambil menyembunyikan wajahnya.
"Austin?" ujar pria itu, tampak mengenali ayah Vous.
Austin mendongak dan tersenyum simpul, "Apa kabar, Julio?" Mereka pun berjabat tangan hangat, seolah bertemu kembali dengan sahabat lama
Julio menatap Vous sekilas, "Apa dia putramu?" Austin mengangguk ringan. "Aku sudah curiga sejak lama kalau dia adalah putramu. Kemarin, putra sulungku mengatakan kalau Arnold sangat dekat dengan Devant, yang merupakan putramu," ujar Julio. Austin tampak tersenyum kecil.
"Dia memang susah diatur. Lihat saja, dia bahkan sudah berjalan-jalan meski masih sakit," Austin dengan sedikit candaan tambah. Julio mengelus kepala Vous, tapi langsung disentak oleh Vous. “Ayah,” keluhnya dengan suara lemah.
Julio menggeleng pelan, "Baiklah, aku harus menemui Arnold dulu. Aku izin." "Kabari aku jika kau butuh bantuan," sahut Austin,
Setelah percakapan itu, Julio melangkah pergi dengan tekad jelas untuk menemui Arnold. Langkahnya cepat menembus lorong-lorong rumah sakit, seolah-olah setiap langkah adalah doa yang ia panjatkan agar Arnold segera pulih. Di ruang inap, Austin menatap kepergian Julio dengan penuh harap, sementara Bobby berdiri di belakang nya, waspada namun tenang.
Vous, yang masih terdiam di delapan ayahnya, menyaksikan kepergian ayah Arnold dengan perasaan campur aduk. Meski terdengar ringan di telinga orang lain, hatinya bergemuruh oleh kekhawatiran dan kerinduan yang mendalam. Dalam benaknya, ia berharap bahwa kehadiran Julio di samping Arnold akan membawa semangat baru dan kehangatan keluarga yang sangat dibutuhkan saat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
' (𝚛𝚎𝚟𝚒𝚜𝚒)
Teen FictionSeorang remaja, satu-satunya pewaris keluarga mafia paling berpengaruh, memilih menjalani hidup sederhana. Bukan karena ia tidak bisa menikmati kemewahan, tetapi karena ia muak dengan belenggu yang selalu mengikatnya. Ia ingin merasakan kebebasan-se...