22. Kembali Bertemu

1.6K 315 17
                                    

Istana seperti hari biasanya, tidak ramai tidak juga sepi. Dia datang hari ini ke Istana untuk mengambil pekerjaan yang akan dia kerjakan nantinya, dia akan kembali pulang ke Hara.

"Selamat Siang Yang Mulia." Anastasia menunduk pada Pangeran Pertama yang tampak membaca sesuatu. "Oh, Selamat siang, Tuan Rafael."

Anastasia tersenyum ke arah Rafael yang ternyata ada di dalam ruangan tersebut. Sepertinya Rafael dan Pangeran Eurasia memiliki urusan sendiri.

"Duduklah." Pangeran Eurasia mempersilakan Anastasia untuk duduk.

Hari ini Kakak Anastasia yang biasanya menjaga Pangeran tidak bisa menjaga Pangeran karena satu dan lain hal, sebenarnya itu karena Kakaknya di beri tugas untuk mengawasi sesuatu. Posisi penjagaan Pangeran Mahkota untuk saat ini digantikan oleh orang lain.

Anastasia duduk pada kursi di hadapan Rafael. Seperti biasa Rafael kelihatan menawan, sayangnya Anastasia tidak bisa memiliki Rafael padahal Rafael ada di depannya.

"Aku akan mengirimkan orang untuk membantu, secepatnya." Pangeran Eurasia meletakkan sebuah kertas dan memberikan tandatangannya di atas kertas tersebut. "Secepatnya orang itu akan kesana."

Rafael berdiri. "Baik, Yang Mulia." Rafael meraih kertas yang telah diberi tandatangan sebelum berjalan keluar dari ruangan Pangeran Mahkota.

"Sepertinya dia marah padaku." Anastasia mengibaskan rambutnya kebelakang. "Dia bahkan tidak mau melihatku."

"Ini tugasmu." Pangeran Eurasia mengabaikan keluhan Anastasia. Gadis bermata ungu itu berdiri dan meraih kertas tersebut.

Anastasia membaca kertas tersebut. "Untuk apa aku ke sana?"

"Edlynne bilang kau ingin mempelajari sihir," Eurasia bersandar pada sandaran kursinya. "Sekalian saja cari tau tentang itu."

Anastasia mengangguk. "Baiklah." Anastasia melipat kertas tersebut sebelum memberikan salam dan pergi dari ruangan itu.

Tugas yang diberikan masih sama seperti terakhir kali, yaitu mencari tau tentang orang-orang aneh yang menolak keberadaan kerajaan. Itu bisa menjadi sebuah kudeta nantinya dan tentu akan menimbulkan masalah serius.

Beberapa kota lain diperiksa oleh para saudaranya, meskipun kebanyakan sibuk dengan pasangan mereka masing-masing.

Kali ini kota yang Anastasia tuju adalah Istir, tempat kekuasaan keluarga Aesreron yang tidak lain dan bukan adalah tempat tinggal Rafael.

Ada baiknya juga, kota itu adalah kota penyihir dan tentunya akan banyak hal yang bisa Anastasia pelajari untuk meningkatkan kemampuan sihirnya.

Anastasia berhenti, dia menatap laki-laki berambut putih yang sedang berbincang dengan salah satu bangsawan.

Mungkin Rafael masih menyimpan rasa pada Kakaknya, Maria. Banyak yang sulit berpindah hati dari Maria, bahkan setelah bertahun-tahun. Sepertinya Anastasia memang tidak ada harapan.

Jasa pencarian informasi yang pasar gelap masih berlanjut, bahkan karena adanya kertas sihir Anastasia tidak perlu lagi datang dan membawa surat-surat tersebut atau harusnya dikirimkan lagi. Apalagi saat dia berada di negeri lain, itu akan sangat menyulitkan.

Beruntung dia di karuniai Mana yang cukup untuk ia bisa melakukan apa yang ia mau. Darah Dioxazine memang luar biasa.

"Anastasia Dioxazine,"

Anastasia menoleh, wajahnya berubah malas melihat laki-laki yang merupakan penjahat utama di cerita ini. Laki-laki berambut biru tua dengan mata hitam pekat. Ya, di dalam cerita banyak yang terpikat oleh ketampanan si penjahat ini. Tapi sayangnya si tampan ini malah jatuh cinta dengan wanita biasa. Klise memang.

"Selamat siang." Anastasia hanya menunduk, tanpa melakukan kontak mata sama sekali dengan Tarrant.

Tarrant menarik ujung bibirnya. "Ah, kalau aku tidak salah dengar Kakak anda, Nona Maria sebentar lagi akan menikah."

Berita tentang Maria tentu menyebar dengan sangat cepat, mirip api yang dinyalakan pada padang rumput kering yang tandus. Banyak yang patah hati mendengar berita Maria Dioxazine yang memutuskan untuk segera menikah dengan laki-laki biasa, padahal banyak bangsawan yang tertarik padanya. Tapi mereka semua kalah dengan pedagang biasa.

"Begitulah." Anastasia berjalan, dan tentu laki-laki itu ikut berjalan disamping Anastasia. Apa dia tidak sadar kalau Anastasia merasa risih? Atau sengaja berpura-pura tidak tau?

"Lalu, Nona? Apa Nona tidak berniat untuk menikah." Anastasia memutar bola matanya malas, ya ampun laki-laki penjahat ini harusnya sekarang sedang mengejar-ngejar si pemeran utama wanita, bukan dirinya yang bahkan tidak ada peran jelas di cerita ini.

Anastasia tersenyum. "Aku akan mengapdikan diriku pada Gereja. Jadi aku tidak akan menikah." Anastasia berjalan agak cepat setelah tampaknya jawaban Anastasia membuat kaget Tarrant yang langsung berhenti berjalan.

"Anastasia,"

Langkah Anastasia berhenti, dia menoleh pada Rafael yang memanggilnya. Laki-laki berambut putih itu tampak melirik kebelakang Anastasia sebelum berdiri disamping perempuan bermata ungu khas itu.

"Ah, saya kira anda marah pada saya, Tuan." Anastasia tersenyum.

Kenapa dia tidak pernah bisa menahan diri jika berada disekitar Tuan Muda satu ini. Rasanya jika berada di sekitar Rafael dia rela-rela saja melemparkan dirinya pada laki-laki itu.

Anastasia berdeham, meredakan kegilaan di kepalanya yang meluap-luap. Dia harus anggun di depan Rafael.

"Marah?" Rafael mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Diruangan Pangeran Tuan mengabaikan saya bahkan tidak melihat ke arah saya ketika saya menyapa, jadi saya kira Tuan marah." Anastasia menatap Rafael. Ya ampun, kenapa laki-laki ini tampan sekali dan kenapa malah Maria yang disukai laki-laki ini.

Rafael menggeleng. "Kau tidak melakukan sesuatu yang harus membuat aku marah."

"Oh, jadi kenapa Tuan mendiami saya?" Anastasia melirik kebelakang, berdecak dalam hati melihat kedatangan si penjahat, Tarrant.

"Selamat siang, Sir Aesreron." Tarrant menyapa Rafael yang membalas dengan anggukan.

Sebenarnya Anastasia harusnya memanggil Rafael dengan sebutan itu, tapi dia sudah terbiasa memanggil Rafael dengan kata Tuan, itu karena dia merasa panggilan Sir akan membuat Rafael terasa lebih tua dari umurnya.

Tarrant melirik Anastasia, dan cepat-cepat gadis itu mengalihkan pandangannya.

"Ternyata hubungan kalian juga baik, aku kira hanya Count Dioxazine dan Marquess Aesreron saja, ternyata anak mereka menjalin hubungan yang baik juga." Tarrant tersenyum.

Kalau saja Anastasia bodoh dan berasal benar-benar dari cerita ini dia pasti akan langsung percaya ataupun menyetujui ucapan manis Tarrant. Tapi sayangnya Anastasia tau semua, bahkan semua kelakuan busuk Tarrant.

"Umur kami tidak begitu jauh, jadi begitulah." Rafael mengangkat bahu. "Lama tidak bertemu."

Dua bangsawan yang cukup berpengaruh, tentunya mereka akan jadi rekan di masa yang akan datang. Maka dari itu hubungan mereka terjalin harus dengan baik.

"Ya, kau jarang sekali pergi ke Ibu kota." Tarrant terkekeh. "Ah, aku harus pergi. Aku masih memiliki beberapa urusan. Selamat siang."

Mau pura-pura tidak taupun, Anastasia tau jika Tarrant melirik ke arahnya sebelum berjalan pergi.

"Kapan kau akan berangkat?"

"Ya?" Anastasia menatap Rafael. "Kemana?"

"Istir."

"Ah," Anastasia mengangguk. "Anda tau kalau saya akan kesana?"

"Ya," Rafael mengangguk. "Tiga hari lagi aku akan kembali."

"Sepertinya saya masih memerlukan sedikit waktu," Anastasia tersenyum. "Saya baru kembali setelah sekian lama, dan ini tugas pertama saya setelah berada di sini. Saya ingin menghabiskan sedikit lebih lama lagi dengan keluarga saya."

Rafael menatap Anastasia sedikit lama, laki-laki bermata merah itu lalu mengangguk. "Datanglah kapanpun kau akan datang, kau akan disambut dengan baik."

Anastasia tersenyum. "Terimakasih."

. . .

TAWS (3) - Anastasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang