PENDAHULUAN

80.1K 3.8K 123
                                    

Sang Prambudi

Ginan menyadari bahwa sebagian besar hal yang ia miliki adalah privilege karena ia adalah seorang Prambudi.
Sejak kecil, tanpa diminta sekalipun, semua perhatian itu mengikuti kemanapun kakinya beranjak. Selalu ada tepuk tangan, sorot kagum, dan mata-mata oportunis sejati yang mengincarnya.

Mungkin sebab itulah, sang Eyang Kakung mulai mengatur ulang segala sesuatu. Mempersulitnya mendapatkan keinginan, membuat langkahnya tak lagi jadi sorotan, dan menambah pelajaran apapun untuknya. Segalanya jadi beban yang melelahkan buat Ginan. Tanggung jawab datang ketika ia bahkan belum mengerti apa artinya.

Pernah suatu ketika, mungkin saat Ginan duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, Eyang Kakung mendadak membelikannya sepeda.
Ginan bingung, tentu saja. Sebab, ia sama sekali tidak bisa mengendarainya.

Namun ia tidak pernah sekalipun merengek. Jika ia melakukan itu, Eyang mungkin akan menambah jam berkuda yang sangat tidak dia sukai sebagai hukuman.
Terdiam cukup lama, Ginan memperhatikan bagaimana lelaki tua itu menuntun sepeda kehadapannya lalu mengatakan.

"Ayo naik, Ginan. Ini sepedamu. Pakai ke sekolah setiap hari."

Saat itu, dengan jujur Ginan menjawab.
"YangKung, Ginan tidak bisa naik sepeda."

"Kalau tidak bisa harus belajar."

"Ginan takut jatuh."

"Kalau cuma jatuh dari sepeda, tidak akan mati. Ayo, coba naik!"

Percakapan itu membekas.
Dan sesuai kata Eyang Kakung, Ginan memang tidak mati setelah lebih dari sepuluh kali jatuh dari sepeda.

Percobaan lain adalah rokok. Itu terjadi ketika ia baru masuk SMP.
Eyang Kakung membelikannya sebungkus rokok beserta korek api.
Ginan menatap benda itu bingung, sedang Eyang justru tersenyum. Katanya saat itu.

"Sudah saatnya kamu mencoba nakal. Ayo, jangan jadi terlalu patuh. Di dunia ini, lelaki patuh hanya akan jadi budak bagi yang lebih kuat." Ujarnya, mengambil seputung dan menyelipkannya di jemari Ginan.
"Kalau kamu ingin mencoba nakal, lakukanlah didepan Eyang sekarang. Nanti, kamu tidak akan punya waktu lagi. Kamu punya terlalu banyak tanggung jawab yang menunggu diselesaikan. Cobalah sekarang supaya tidak penasaran. Eyang akan memaklumi itu."

Ginan tersenyum tipis. Ia menerima api dari tangan Eyang Kakung dan menghisap rokok pertamanya diusia belasan.
Tentunya, ia terbatuk-batuk dengan indahnya.

Saat Ginan SMP, sementara Sangga sedang kecanduan belajar untuk menyongsong masa depan yang cerah, dan Anthariksa masih sibuk-sibuknya main comberan, Eyang Kakung malah memperkenalkan Ginan pada seorang pelatih tinju.
Dua bulan berselang, Ginan di dorong masuk ke ring tinju dan di adu dengan seorang pemuda yang tampak jauh lebih terlatih dibanding Ginan yang baru belajar dasar-dasar memukul orang.
Hasilnya? Tentu saja, Ginan kalah telak.
Dia babak belur. KO.
Tapi, Eyang Kakung justru tertawa bangga padanya.
Katanya, "Kamu harus berlatih lebih giat lagi, Ginan. Eyang yakin, di pertarungan selanjutnya kamu akan bisa mengalahkan dia. Bukan begitu?"

Seberat apapun Eyang Kakung mendidiknya, Ginan tidak pernah merengek atau mengeluh.
Ia melakukan semuanya dengan patuh. Dengan keyakinan bahwa apapun yang Eyang Kakung ajarkan, memang akan berguna bagi hidupnya kelak.

Tak selalu langsung, tapi Eyang Kakung telah menjawab setiap tanya atau keraguan yang muncul dalam dirinya.
Alasan mengapa ia harus menjaga jarak dengan teman-temannya di sekolah. Alasan mengapa ia harus pandai berkuda, berenang, memanah, main catur, bela diri, dan kenapa ia harus selalu tersenyum pada setiap orang.
Nalar remajanya belum terlatih mencurigai siapapun sampai seorang temannya di SMP memanfaatkan apa yang ia punya.
Saat itu Ginan sadar, ternyata segala nilai yang selama ini eyangnya ajarkan memang berguna disaat-saat seperti itu.

Sekalipun dikhianati, ia harus tahu bagaimana caranya tersenyum maklum. Diam-diam merancang rencana membalas tanpa perlu kelihatan jahat. Menjadi superior dengan cara paling ramah yang bahkan tak disadari si korban.

Di usia tujuh belas, ia di 'buang' ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan SMA nya disana. Di sebuah asrama. Sebuah kota yang amat jauh. Membuatnya terpisah dari kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, kata keluarga mulai awam bagi ingatan Ginan. Tapi, instingnya makin kuat. Ia mahir dalam segala hal, sampai-sampai, Eyang senantiasa membanggakannya diantara para kolega bisnis sampai ujung hayatnya.
Pesan eyang Kakung sebelum pergi cuma satu ; Bersembunyi, sampai kamu siap membuat seluruh milik kita pantas berada di bawah kakimu.

Begitulah ia tumbuh sebagai keturunan Prambudi. Penuh akal. Penuh jalan. Sekaligus penuh tekanan.

Tak ada yang ia percayai. Tak ada yang sangat ia cintai. Dan tak ada yang perlu ia kejar setengah mati.

Tentu, kasus itu berhenti juga akhirnya. Jarum jam dalam kehidupan Ginan seolah berputar terbalik saat ia menyadari ada satu manusia yang membuatnya teramat nyaman. Teramat percaya. Teramat cinta. Dan teramat ingin memiliki.

Jangan tanya filosofi cinta dan jangan coba mengubahnya jadi rasional. Tak mungkin terjadi bahkan untuk manusia super sekalipun.
Jatuh cinta datang tanpa pandang bulu dan bisa menghancurkan manusia dengan cara paling indah. Memang begitu aturannya.

Namanya Medhya Zalina Mukhtar.
Seorang gadis dengan mata menyala-nyala penuh semangat. Rambut beraroma stroberi, dan senyum secerah mentari.
Gadis itu berani menjungkirbalikkan dunia Ginan yang sempurna.

Ada banyak perbedaan diantara mereka.  Sulit sekali mengakui kelemahannya sendiri.
Tapi, berbekal rasa percaya dari sorot mata gadis itu yang terang benderang, Ginan pun memutuskan maju dan mencoba.
Terus menghampirinya, dan begitulah mereka memulai semuanya.

Lebih sulit dari yang ia pikirkan. Lebih banyak rahasia yang tercipta. Lebih banyak amarah antara keduanya.
Kedewasaannya sering berbenturan dengan otak remaja si gadis, hingga menuntun banyak perdebatan yang tentunya lebih dari sekedar mudah untuk diselesaikan. Entah itu komitmen, rasa percaya, atau rasa aman satu sama lain. Semuanya bercampur aduk dengan setitik cinta yang bolak-balik membuat keduanya saling menatap lagi.

Namun begitu, makin Ginan sadar bahwa hidupnya sudah benar.

Benar bahwa gadis itu ada disisinya. Benar bahwa terkadang, ia juga butuh mengalah dan hanya gadis itulah yang bisa membuatnya mundur selangkah.

Benar bahwa kekurangan gadis itu membuatnya makin stabil. Merasa normal. Merasa semuanya sudah pas.
Seolah ... Seharusnya memang begitu ia hidup.

Ginan ingin gadis itu.

Kedengarannya sangat simpel untuk orang sepertinya.
Ia lahir dengan segalanya, hanya tinggal gadis itu saja yang perlu ia minta dari Tuhan.

Dan Tuhan ... rupanya tidak membiarkannya melenggang dengan mudah.
Gadis itu teramat berbeda darinya. Membuatnya harus terjepit diantara pilihan yang sulit.

Hati, atau nama baik keluarga?

Ginan cukup lama menyadari bahwa di dunia ini, ia menginginkan gadis itu, lebih dari apapun.

Ginan ingin mendapatkan Medhya-nya kembali, bagaimanapun caranya.

****

Haaiii, ini adalah kelanjutan dari cerita sebelumnya 'Do you remember your first cup of coffee' ya, teman-teman.
Untuk yang belum baca 'dyryfcoc' (Halah belibet) silahkan di baca dulu biar lebih nyambung.

Aku nggak ngerti akan gimana nanti. Tapi rencananya, cerita ini akan dibuat lebih mature dari sebelumnya, jadi mohon untuk memilih bacaan dengan bijak sesuai usia kalian yaa ^_^

Oh iya, cerita ini akan di update dua part langsung setiap malam Minggu (kalau nggak ada huru-hara tambahan)

Semoga bisa menjadi bacaan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang teman-teman semua. ^-^
Aku akan bahagia kalau bisa memberikan kalian bacaan yang bagus. Dah begitu saja.

Salam, Cal.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang