27

36.7K 3.1K 107
                                    

DUA PULUH TUJUH : DIBALIK MURKA

Devintari mendongak menatap langit yang menggelap. Rintik hujan mulai turun. Hawa sejuk di sertai bau aspal basah menyeruak. Akhir-akhir ini, Jogja selalu hujan menjelang sore hingga malam.

Gadis itu mendesah kecil. Memutuskan berlari dari gedung GMK ke kafe di seberang jalan, tangannya menutupi permukaan tas Hermes hitam tersayangnya.

Badan boleh basah, tasnya jangan.

"Hei!"

Devintari mencari arah panggilan.
Ah, di tengah ruangan sana. Meja dengan seorang gadis bergaya kantoran sama dengannya tengah melambaikan tangan. Devin menepuk-nepuk kemejanya pelan sebelum mendekat. Melihat suasana O'real kafe yang ramai. Maklum, memang sedang jam makan siang.

"Ada apa?"  Devin duduk, tak ingin basa-basi langsung bertanya. "Gue sibuk. Kalau ini ternyata nggak penting-penting amat, gue cabut sekarang."

"Minum dulu," gadis itu menyodorkan secangkir coffee latte hangat yang sudah ia pesan. Senyum anggunnya mengembang, wajahnya terlihat tetap ramah sekalipun mendapat sambutan tak hangat dari sang lawan bicara. "Ini kali pertama kita ngobrol berdua."

Devin memutar mata. Meletakkan tasnya di atas meja lalu mengambil cangkir coffee latte di hadapannya. Sementara Zoya sedang sibuk mencari muka, Devintari juga sibuk membandingkan perbedaan antara si ningrat kesayangan Tantenya ini dengan musuh bebuyutannya, Medhya Zalina Mukhtar.

Berkali-kali Devintari harus mengatakan, ia lebih suka menghabiskan waktu untuk bertengkar dengan si perempuan ular yang suka bicara jahat itu daripada harus basa-basi dengan Zoya Halim yang penuh wibawa.

Perempuan ini ... Tatapan Devin seolah mencela setiap gerak-gerik Zoya dengan seksama, penuh kritikan dan tentu saja ... Rasa benci yang hebat di karenakan kejadian terakhir yang ia lihat di rumah Ginan.

"Hah," Devintari membuang napas dengan jengah. Meminum coffee latte-nya sedikit kemudian meletakkannya lagi di meja. Memutar mata sebelum bicara. "Kalau lo cuma mau cari muka sama gue, menyerah aja. Karena sejujurnya, gue nggak punya setitik pun alasan untuk mendengarkan omong kosong lo," Devin melipat kaki dengan gerakan arogan. Tatapannya tertuju lurus sementara bibirnya menyungging senyum setengah yang amat menyebalkan.

"Aku cuma ingin lebih akrab dengan kamu,"

"Gue nggak dalam kondisi untuk bisa akrab dengan siapapun. Terutama sama lo," balas Devin cepat. "Gue nggak tertarik melakukan itu, asal lo tahu."

"Kenapa?" Kali ini, senyum tipis Zoya seolah menjawab tantangan yang di kibarkan Devintari dengan sama arogannya. Dua gadis itu beradu mata, saling menunjukkan rasa tidak suka dengan cara yang berbeda. Devintari dengan terbuka dan terang-terangan, sedangkan Zoya dengan cara terlembut yang mampu ia tampilkan sebagai wanita dewasa.

"Lo mau apa?" tanya Devintari segera.

Zoya tak butuh waktu lama untuk menjawab. "Aku mau Ginan."

Sebuah tawa pelan lolos dari bibir Devintari kala itu. Sembari geleng-geleng kecil, Devin kembali menjawab. "Kalau soal itu, lo berhadapan sama orang yang salah," katanya. Meluruskan punggung kemudian melipat tangan di depan dada. "Untungnya gue sudah menebak apa tujuan lo hari ini. Karena itu, gue juga menyiapkan rencana yang bagus." Lanjut Devin, memutarkan mata ke seluruh penjuru kafe. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok gadis dengan rambut panjang berwarna cokelat terang tengah berjalan kearahnya. "Itu dia," Devintari mengerjap dengan puas kala mendapati Zoya memutar kepala, bertukar pandangan dengan Medhya yang kini meletakkan tas diatas meja, kemudian menarik kursi di sebelah Devintari dengan wajah dingin.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang