23

33.5K 3.2K 29
                                    

DUA PULUH TIGA : DI BALIK RINDU


Medhya langsung menjatuhkan diri di sofa begitu sampai di rumah. Menghela napas panjang, menutup kelopak matanya, dan mengusap wajah dengan lelah.

Perlahan, ia melirik ponsel yang tergeletak di meja cukup lama. Menunggu.

Tapi, sudah lebih dari satu Minggu, tak pernah ada telepon lagi dari lelaki itu. Medhya meraih ponselnya, berbaring miring. Menatap layar gawai tersebut dengan desah kecewa.

Apa dia benar-benar tidak akan datang lagi?

Dada Medhya terasa panas. Ada semacam ketakutan yang menghantui kala membayangkan Ginan Satyatama tidak akan muncul lagi di hidupnya. Perkataan lelaki itu di akhir perjumpaan mereka terdengar sangat serius.

Medhya membuka chat terakhir mereka. Memandanginya lama. Jari-jarinya bergerak mengetuk profil picture lantas mengerjap pelan. "Aku kangen," bisiknya. Napas panjang terhembus dari mulut, bersamaan dengan kelopak mata yang memanas. "Mas Ginan, kangen ..." Ia menutup wajahnya, menangis diam-diam karena rindu.

Medhya pikir, ia akan baik-baik saja.
Sama seperti ia yang bisa menahan diri empat tahun lalu, ia pikir akan mampu menahan perasaan ini lagi. Tapi ... Terlalu menakutkan baginya untuk kembali ditinggalkan. Rasa kesepian itu bisa ia atasi ketika bekerja dan disibukkan dengan berbagai hal di kantor. Namun sepulangnya ia ke rumah, tetap ada yang kosong dan itu sangat mencekam.

Di tengah-tengah tangisannya, ada telepon masuk dari Anya.

Tunggu ... Anya?

Medhya langsung duduk. Mengusap airmata di wajahnya buru-buru. Lalu menatap ponselnya dengan gamang. "Aku ... Harus gimana .." ia menggigiti kuku, cemas. Kepalanya berkelana pada percakapannya dengan Gerda beberapa hari lalu, lantas ia menggigit bibirnya sendiri dengan kalut.

Panggilan Anya berhenti untuk sesaat, sebelum ponselnya bergetar lagi.

Masih Anya.

Sepertinya ... Medhya harus mengangkat panggilan ini. Ia tidak punya alasan untuk menolak. Lagipula ... Kenapa ia jadi ketakutan begini padahal tidak terlibat apa-apa?

"Justru dia akan curiga kalau aku menghindar," bisik Medhya kemudian berdekhem, menstabilkan suara sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Nya."

"Yay," panggil Anya, terdengar risau. "Lo udah baca berita?"

Medhya mengernyit. Kemudian bergumam. "Soal apa? Kenaikan harga minyak goreng?" candanya, di balas dengusan kencang Anya di sana.

"Bukan, goblok."

"Nya, sebenarnya ... Ada sesuatu--"

"Gue barusan kirim link ke elo, baca beritanya sekarang juga, Yay."

Alis Medhya bertaut. "Aku sibuk, nggak ada waktu buat baca berita." Katanya, mulai curiga. "Ada berita apa sih, memangnya?"

"Berita penggabungan antara Prambudi Indonesia dan GnP."

Apa?

"Memangnya bisa gitu?"

"Bisa." Anya menambahkan, "Mas Ginan ditunjuk sebagai direktur utama lewat Rapat pemegang saham dadakan yang diadakan kemarin sore di Singapore. Nyaris tujuh puluh persen suara setuju dengan penunjukannya menggantikan Pak Hangga." Anya menghela napas berat kemudian melanjutkan. "Sangga juga ditunjuk sebagai direktur utama Pramedical center. Selain itu ... Yay,"

Medhya tahu, kelanjutannya tak akan membuatnya senang.

"Ada rumor yang mengatakan, keluarga Prambudi akan berbesan dengan keluarga Halim. Prambudi yang dimaksud ini ... sudah pasti Mas Ginan,"

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang