SEPULUH : TIGA SERANGKAI
"Anya?"
Barra ikut turun dari mobil ketika melihat Medhya buru-buru melepas sabuk pengaman dan berlari menghampiri perempuan tinggi yang berdiri di depan rumah.
Dua gadis itu saling tatap sejenak dan Barra bisa merasakan atmosfer canggung disana.
"Hai, Yay. Gue ... Mampir," ia menggenggam tali tas di bahu seraya tersenyum tipis. Surfea dress sepaha warna putih yang membalut tubuhnya berkibar pelan ketika ia turun dari undakan.
"Is everything alright?" Medhya mendekat. Ia tahu, ada yang tidak beres disini. Hubungannya dengan Anya beberapa tahun belakangan masih belum membaik. Jadi, melihat Anya tiba-tiba datang ke tempatnya begini, sudah pasti ada hal besar di baliknya. "What's going on?" tanyanya lagi, melirik wajah Anya dengan seksama. Sekalipun mereka cukup lama renggang, bukan berarti Medhya kehilangan kepekaannya. Mau bagaimanapun juga, Anya adalah salah satu sahabat tersayangnya.
Gadis itu mengerjap cepat kemudian bibirnya bergetar samar. "Yay ..." Sesaat setelah itu, sebutir airmata turun ke pipi. "Gimana ini,"
"Kenapaaa?" Medhya bergegas menghampiri gadis itu, menawarkan sebuah pelukan hangat. Ia menepuk-nepuk bahu Anya perlahan. "Its okay,"
Akbarra memasukkan sebelah lengan di saku celana. Mengamati sejenak sambil menghela napas. Ia mengenal gadis tinggi itu sebagai satu dari dua sahabat terdekat Medhya. Tapi seingat Barra, mereka tidak pernah bertemu hanya berdua. Biasanya, selalu ada Gerda Putri, si artis layar kaca yang senantiasa menjadi perantara bagi hubungan dua gadis ini. Tampaknya saat ini berbeda. Pasti ada yang terjadi hingga gadis itu datang jauh-jauh ke Jogja sendirian.
Berjalan pelan, Barra menepuk pundak Medhya lembut. "Sepertinya kalian butuh waktu berdua." ujarnya. "Kalau begitu aku pulang, ya? Kalau ada apa-apa, telepon saja, aku akan langsung datang."
Medhya mengangguk, mempersilahkan. "Thanks, Bar. Hati-hati di jalan."
Barra mengiyakan sambil berlalu.
Medhya hanya melirik kepergian Barra sampai mobil lelaki itu menjauh dari pelataran rumahnya, kemudian kembali menatap Anya. Melepaskan pelukannya, menghapus airmata di pipi Anya kemudian tersenyum tipis. "Ayo kita masuk,"
****
"Jangan main-main sama pernikahan, Ngga."
"I am not," Sangga menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke udara. Menatap langit malam yang gelap, termenung sesaat sampai Ginan kembali menginterupsi pikirannya yang kacau. "But it was my decision and i don't have time to this arguing,"
"Do you love her?" tanya Ginan dengan serius. "Enggak, kan? Terus kenapa lo mau nikahin dia?"
"Karena gue harus."
"Buang rokok lo, bajingan. Lo mau mati muda?" Ginan menyerngit tidak suka melihat kebiasaan baru Sangga. Selain jadi lebih sering minum, Sangga juga jadi perokok berat sejak kepergian Brisia. Padahal dulu, Sangga menerapkan prinsip hidup sehat yang amat kuat.
"Pada akhirnya semua orang akan mati juga," dengus Sangga, menjatuhkan putung rokoknya di tanah, lantas menginjaknya dengan ujung sepatu. "Gue sudah bicara sama gadis itu."
"Dia setuju?"
"Dia harus setuju."
"Lo paksa dia?"
Sangga menoleh, menatap Ginan dengan datar seraya menjawab. "Bukan gue. Tapi, keadaan yang memaksa dia," ujarnya. "Bokapnya sakit-sakitan. Kakaknya sudah bertahun-tahun di luar buat memperbaiki keadaan. Ibunya punya skandal perselingkuhan. Look, justru gue yang nolong dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...