LIMA PULUH TIGA : ANUGERAH DAN MUSIBAH
"Nggak usah kamu lihatin terus. Gambarnya nggak akan tiba-tiba berubah jadi Oren atau biru sekalipun kamu usap-usap begitu," cibir Medhya, mengamati ekspresi Ginan yang sejak pulang dari rumah sakit tadi, senantiasa memandangi gambar hitam putih USG dengan sorot terpesona.
"Anakku kelihatan menawan."
"Ck, menawan darimananya sih, Mas? Dia baru umur enam minggu. Bentuknya aja masih bulat putih setitik kayak kecebong begitu."
Ginan melirik lalu tergelak pelan. "Kayak biji kopi." Ucapnya. "Aku akan panggil dia bayi kopi mulai sekarang," Ginan merangkak ke kasur, meletakkan wajahnya di depan perut Medhya sambil berbisik. "Hai, bayi kopi, are you there? Its papa!"
Medhya berdecak lagi. Sibuk memainkan ponselnya sambil rebahan. "Biji kopi mah terlalu besar," cibirnya. "Di mataku, dia lebih mirip titik-titik yang nempel di permukaan stroberi." Koreksinya.
"Tadi dokter Esther bilang, dua minggu lagi bisa kedengaran detak jantungnya, ya, Sayang?"
"Iya," Medhya menyingkirkan ponselnya. "Tadi kamu nggak dengar?"
Ginan menggeleng. "Masih belum begitu jelas," ucapnya. Mengecupi perut sang istri.
"Seneng ya kamu, berhasil mengacaukan rencana jangka panjang kita?"
Ginan tergelak pelan. "Jangan nyalahin aku, lah. Kan bikinnya sama-sama," ucapnya. "Lagian kenapa, sih? Hamil ada suaminya kok pusing."
Medhya menghembuskan napas panjang sembari mengelus rambut Ginan dengan lembut. "Bukan gitu. Tapi kan ..." Ia menghela napas panjang, tak meneruskan perkataannya sendiri.
"Tapi apa?"
"Nggak apa-apa." Katanya.
"Kenapa kok sedih begitu?"
"Aku mau minta tolong," bisik Medhya pelan. "Mama sama yang lain jangan dikasih tahu dulu, ya?"
Ginan menyerngit. "Kenapa?" tanyanya.
"Mama pasti happy kalau tahu sebentar lagi akan punya cucu."Medhya terdiam cukup lama. Mengingat perkataan Gracia beberapa malam lalu lantas ia menggeleng. "Aku nggak mau ada yang tahu dulu. Cukup kita berdua dan Bi Nani aja yang tahu."
Ginan mengamati raut wajah Medhya dengan mata menelisik. "Kamu berantem sama mama lagi, ya? Diapain kamu sama mama?"
Medhya menggeleng.
"Dengarkan aku," Ginan berujar penuh penekanan. "Aku akan bicara serius, jadi dengar baik-baik." Lanjutnya. "Kamu nggak sendirian sekarang. Kalau dulu, kamu mungkin bisa aja menyimpan semua uneg-uneg di kepalamu sampai meledak, tapi sekarang kamu nggak bisa begitu lagi." Peringatkan Ginan dengan tegas. "Anak kita nggak tahu apa-apa. Jangan karena kamu keras kepala dan berpikir semua bisa kamu atasi sendiri, anak kita jadi kena imbasnya. Kamu ngerti kan, Zaline? Kalau kamu sedih, dia juga sedih. Kamu stres ataupun banyak pikiran, dia yang akan kena. Jadi, sekarang cerita ke aku, ada apa selama aku pergi?"
"Mas," bibir Medhya melengkung turun, matanya berkaca-kaca saat bicara. "Mama bilang, mama nggak mau punya cucu dari aku."
Ginan mengernyit. "Ha?"
Medhya mengusap air matanya dengan lengan kemudian melanjutkan. "Beberapa malam yang lalu, aku dikasih pil kontrasepsi. Aku nggak boleh hamil sama Mama." gumamnya. "Sebenarnya bukan soal pil kontrasepsi-nya. Tapi, omongan Mama itu, aku nggak suka."
"Mama ngomong apa?"
"Katanya, kalau aku punya anak, Mama bakal benci sama anakku kayak dia benci sama aku. Aku kan takut kalau anak ini ikut-ikutan dibenci. Memangnya salah dia apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...