42

38.4K 3.3K 120
                                    

EMPAT PULUH DUA : BERGANDENGAN



Selepas Ginan pergi ke New York, besoknya, eyang langsung mengajak Medhya terbang ke Jakarta untuk mengikuti sebuah pertemuan, katanya.

Awalnya Medhya pikir, pertemuan yang dimaksud eyang akan jadi pertemuan biasa, dimana para wanita kaya-raya akan berkumpul dan bergosip, atau apalah itu.

Rupanya tidak.

Di dalam ballroom hotel tersebut, berkumpul sekelompok wanita dengan gaun-gaun mahalnya. Sibuk tertawa di meja per meja. Memancarkan aura eksklusif tak main-main yang belum pernah Medhya rasakan sebelumnya.

Bukan itu yang menarik perhatian Medhya. Tapi, foto-foto anak berbagai usia yang sedang dibagi-bagi oleh mereka. Mereka tampak mewah, namun begitu tatapannya tertumbuk pada sekumpulan foto yang mereka sebut 'anak asuh', kesan mewah itu berganti hangat seketika.

"Eyang, mereka sedang apa?"

"Undian," jawab eyang pelan. "Disini, kami sering berebut peran terutama jika sudah berkaitan dengan anak-anak terlantar. Jadi, supaya adil, kami mengundinya untuk menentukan siapa yang boleh bertanggung jawab terhadap anak-anak baru di yayasan. Siapa yang boleh mendanai kebutuhan pokok dan pendidikannya."

"Biaya semacam itu, bukan diambil dari dana bersama?"

Eyang menggeleng. "Dana bersama di gelontorkan untuk perempuan-perempuan kurang beruntung di luar sana. Entah korban kekerasan rumah tangga, korban pelecehan, dan mantan pekerja seks yang kebetulan sedang mencari tempat berlindung." Tuturnya. "Eyang dengar kamu juga pernah ikut volunteering?"

"Iya, eyang. Beberapa tahun lalu, di raja Ampat."

"Dimananya?"

"Kampung lopintol, teluk mayalibit." Jawab Medhya. "Disana banyak anak-anak yang kurang dalam hal pendidikan. Cuma ada satu sekolah, itupun atapnya hampir rubuh. Sayang sekali, padahal anak-anak disana kelihatan semangat belajar."

"Begitu?" Tanya eyang tampak tertarik.
"Lain kali, coba kamu ajak ibu-ibu ini kesana."

"Disana tidak banyak fasilitas memadai, eyang. Untuk orang-orang yang biasa berkecukupan, pasti sangat kerepotan kalau harus berkunjung di tempat begitu."

Eyang tersenyum tipis. "Kamu tahu mamanya Anthariksa?"

Medhya menggeleng.

"Anak perempuan eyang satu-satunya. Dari kecil, dia hidup berkecukupan, ya macam Devintari begitu. Tapi, ketika dia mulai terjun ke dunia volunteering, kebiasaannya langsung berubah total. Di kota, dia shopping selayaknya anak-anak muda pada umumnya. Ketika di tempat pengabdian, dia menimba air untuk mandinya sendiri." Eyang tertawa pelan. "Itu yang disebut fleksibel. Dan sifat seperti itu, harusnya ada di setiap diri manusia. Kita ini kan makhluk istimewa yang diciptakan dengan kemampuan beradaptasi tinggi, jadi tidak perlu khawatir dengan segala bentuk perubahan."

Medhya membalasnya dengan senyum simpul. "Eyang mau ikut Medhya kesana suatu saat nanti?"

"Eyang sudah tua. Kalau mati di tengah jalan, nanti malah merepotkan rombongan."

Medhya terkekeh pelan saat melihat bibir eyang putri tertarik lebar.

"Nah, sekarang perhatikan eyang. Yang itu namanya Ibu Mira Gustipradja, istrinya Saleh Gustipradja." Sambil tersenyum anggun, eyang putri kembali berbisik. Mengarahkan Medhya untuk menjabat tangan wanita yang kini menatap ramah. "Dia yang mengurus semua penyaluran dana bantuan bagi perempuan korban kekerasan rumah tangga dan para korban pelecehan."

Medhya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Salam kenal, Ibu."

"Ini siapa, Bu?" Wanita itu memandangi Medhya dengan heran.

STROBERI DAN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang