TIGA PULUH LIMA : SEPERTINYA (TAK) BERBALAS
"Cengengesan melulu yang pulang liburan." Karen menyindir santai. "Habis di garap berapa ronde sama pemilik ladang duit se Indonesia raya itu?"
Medhya mengulum senyum, membalas perkataan Karen dengan segera. "Mendung banget tampang pengantin baru. Kenapa? Service suami kurang memuaskan?"
"Heish!" Karen menyipit kesal. "Gue belum honeymoon!" Serunya sebal. "Rencana ke Maldives gagal gara-gara kerjaan laki gue numpuk!"
"Bersenang-senang kan nggak harus ke Maldives, Mbak. Dimana aja bisa, selama ada kasur dan ruangan tertutup."
"Kalau soal itu sih, di kebun pisang juga bisa. Tapi kan ... Nggak dapat pengalaman romantisnya!"
"Halah,"
"Holah-halah, tunggu aja sampai lo kawin nanti!"
"Ngomong-ngomong soal itu, Mbak .." Medhya menjeda kalimatnya sejenak. Ia mengangsurkan es kopi di hadapan Karen lantas melanjutkan. "Aku mau minta cuti beberapa hari."
Karen menyedot esnya dengan dahi mengerut. "Tumben. Biasanya sampai pegel mulut gue nyuruh lo ambil cuti, nggak pernah digubris. Gue pikir lo bakal kerja sepanjang tahun kecuali kiamat."
Medhya tergelak pelan. "Aku mau pakai semua cutiku tahun ini."
"Mau apa?" Tanya Karen heran. "Diajak jalan-jalan sama ladang duit?"
Medhya menggeleng. Ia melirik sekitar kemudian berbisik. "Mau nikah."
Es kopi dari dalam mulut Karen muncrat begitu saja. Perempuan itu batuk-batuk hebat, tersedak minumannya sendiri. Setelah beberapa lama berjuang hidup melewati fase keselek yang nyaris merenggut nyawa, Karen mendelik tajam pada Medhya. "Goblok! Kondomnya bocor?!"
Medhya ikut melotot lantas celingukan melihat sekitar. "Mbak Karen!"
"Lo kebobolan, kan?!"
"Enggak, ya ampun!" Medhya bergerak mencubit paha Karen, meminta perempuan itu menjaga lisan.
Bisa habis reputasinya di kantor kalau sampai ada yang mendengar kalimat asal Karen tadi. "Memangnya harus kecelakaan dulu baru boleh nikah?"Karen masih menyipit curiga.
Medhya memutar mata. "Demi Tuhan aku masih perawan, Mbak!"
"Tuh laki homo?!"
"CAPEK AH NGOMONG SAMA MBAK KAREN!"
Karen ngakak melihat tampang ngambek Medhya. "Ya lagian lo ngagetin aja! Gue kan tahu lo ini kayak apa," ujarnya, menepuk-nepuk kemeja yang terkena semburan kopi, lalu melirik Medhya lagi. "Sampai bulan lalu, lo masih bilang bahwa menikah itu bukan prioritas hidup lo. Jadi ketika lo tiba-tiba memutuskan untuk melakukannya, wajar kalau gue kaget." Ia meletakkan es kopinya di meja kemudian menatap Medhya penuh perhatian. "Sekarang kasih tahu ke gue, kenapa tiba-tiba mau nikah?"
"Kami pacaran sejak tujuh tahun lalu," Medhya bergumam membuka perkataannya sendiri. "Melewati fase putus empat tahun lamanya, di tambah aku yang maju mundur nggak jelas beberapa bulan ini. Jadi ... Keputusan untuk menerima dia sekarang, bukan hal yang tiba-tiba," katanya, tersenyum tipis.
"Iya, tapi pasti ada satu hal yang bikin lo kemudian memutuskan untuk melangkah seberani ini, kan? Bilang ke gue, apa yang di lakuin ladang duit itu, yang tidak bisa dilakukan adek gue buat lo."
Medhya menunduk sejenak. "Soal mencintaiku, Akbarra memang nggak ada tandingannya. Tapi, soal siapa yang kucintai, Ginan nggak ada gantinya." Medhya nyengir melihat Karen memutar mata. "Beberapa waktu lalu, dia bilang sesuatu ..." Nada bicara Medhya mendadak berubah serius. ".. untuk pertama kalinya selama kami saling kenal, aku melihat dia sedih dan nanya 'apa dia nggak boleh egois dan bahagia sekali aja?' dia bilang, dia mau bahagia bersamaku. Dan aku bilang ke dia, aku akan mewujudkan keinginannya. Aku akan mendukung semua keputusannya supaya dia bahagia. Jadi ini ..." Medhya tersenyum lagi dengan tipis. "..menikah, adalah salah satu yang bisa aku lakukan untuk mendukung keputusannya. Aku tahu dia punya banyak hal dalam hidupnya. Tapi, cuma aku yang bisa mencintainya sebesar ini. Aku ingin melakukan itu seumur hidupku. Aku ingin mencintai dia habis-habisan sampai aku nggak bisa melakukannya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
STROBERI DAN KOPI
Romance[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasakan di masa lalu, sebuah luka amat besar masih menghuni hatinya. Medhya sadar bahwa hatinya tak siap...